MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


A.    Pengertian Materi Muatan Undang-undang Republik Indonesia
Materi muatan peraturan perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki peraturan perundang-undangan. Istilah materi muatan undang-undang di perkenalkan oleh A. Hamid S.Atta-mimi yang berpendapat bahwa materi muatan Undang-undang negara dapat ditentukan atau tidak, tergantung pada sistem pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan latar belakang sejarah dan sistem pembagian  kekuasaan negaranya.
Undang-undang Negara Indonesia ialah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan Presiden. Hal tersebut meruju pada kewenangan pembentukan Undang-undang yang digariskan dalam pasal 20 ayat 1 UUD 1945 perubahan kesatu menyebutkan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang.” Kemudian ayat selanjutnya menyebutkan bahwa “setiap rancangan Undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat  persetujuan bersama.” Dengan demikian, materi muatan Undang-undang dapat ditentukan batas-batasannya atau ruang lingkupnya.
Kita mengetahui bahwa UUD 1945 tidak menyebutkan apa yang menjadi materi muatan undang-undang, tetapi di dalamnya ada petunjuk-petunjuk yang dapat kita pakai untuk mencarinya. Untuk menemukan materi undang-undang, kita dapat menggunakan tiga pedoman, yaitu:
1.      Berdasarkan dalam batang tubuh UUD1945
2.      Berdasarkan wawasan negara berdasar atas hukum (rechsstaat)
3.      Berdasarkan wawasan pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi (konstitusionalisme).
Menurut ketentuan pasal 10 Undang- undang Nomor 12 tahun 2001, materi muatan yang harus diatur dengan Undang-undang berisi:
1.      Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan undang-undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
2.      Perintah suatu Undang-undang untuk diatur dengan undang-undang.
3.      Pengesahan perjanjian internasional tertentu.
4.      Tindak lanjut atas putusan mahkamah konstitusi.
5.      Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.[1]
Materi muatan peraturanan perundang-undangan, tolak ukurnya hanyadapat dikonsepkan secara umum. Semakin tinggi kedudukan suatu peraturanperundang-undanagan, semakin abstrak dan mendasar materi muatannya. Begitu juga sebaliknya semakin rendah kedudukan suatu peraturan perundang–undangan semakin semakin rinci dan semakin konkrit juga materimuatannya.
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia, memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara dan merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, materi muatan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945
(Lex Inferior derogat Lex Superior).[2]

B.     Asas-asas Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan
Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dirumuskan dalam Undang-undang No. 10 Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya Pasal 5 dan Pasal 6 yang dirumuskan sebagai berikut:
Pasal  5
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yang meliputi:
a.       Kejelasan tujuan;
b.      Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c.       Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d.      Dapat dilaksanakan;
e.       Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f.       Kejelasan rumusan; dan
g.      Keterbukaan.
Asas-asas yang dimaksudkan dalam Pasal 5 diberikan penjelasannya dalam penjelasan Pasal 5, sebagai berikut:
a)      Asas kejelasan tujuan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
b)  Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang. 
c)   Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangannya.
d) Asas dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis.
e)  Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
f)  Asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
g) Asas keterbukaan adalah bahwa dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, asas-asas yang harus dikandung dalam materi muatan peraturan perundang-undangan di Negara Republik Indonesia dirumuskan dalam Pasal 6 sebagai berikut:
Pasal 6
1.      Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung asas:
a.       Pengayoman;
b.      Kemanusiaan;
c.       Kebangsaan;
d.      Kekeluargaan;
e.       Kenusantaraan;
f.       Bhinneka tunggal ika;
g.      Keadilan;
h.      Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i.        Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j.        Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
2.      Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
Apa yang dimaksudkan dengan asas-asas yang berlaku dalam materi muatan Peraturan Perundang-undangan tersebut dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 6 sebagai berikut:
a.    Asas pengayoman adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
b.    Asas kemanusian adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
c.     Asas kebangsaan adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
d.  Asas kekeluargaan adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
e.  Asas kenusantaraan adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
f.  Asas bhinneka tunggal ika adalah bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
g.  Asas keadilan adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
h.    Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
i.     Asas ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
j.      Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah ahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.[3]

C.    Materi Muatan Undang-Undang (Sebelum Perubahan UUD 1945)
Istilah Materi Undang-Undang ini pertama kali diperkenalkan oleh A. Hamid S. Attamimi dalam Majalah Hukum dan Pembangunan Nomor 3 Tahun ke IX Mei 1979 sebagai terjemahan dari het eigenaardig onderwerp der wet. Istilah het eigenaardig onderwerp der wet ini digunakan oleh Thorbecke dalam Aantekening op de Grondwet yang diterjemahkan sebagai berikut:
Grondwet meminjam pemahaman tentang wet hanyalah dari orang/badan hukum yang membentuknya. Grondwet membiarkan pertanyaan terbuka mengenai apa yang di negara kita harus ditetapkan dengan wet dan apa yang boleh ditetapkan dengan cara lain. Sebagaimana halnya dengan Grondwet-grondwet lainnya, Grondwet (inipun) berdiam diri (untuk) merumuskan materi muatan yang khas bagi wet (het eigenaardig onderwerp der wet).”
Apabila pendapat tersebut dipersamakan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum Perubahan), pendapat itu ada benarnya. Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan mengenai siapa pembentuk undang-undang dalam Pasal 5 ayat (1) dengan rumusan, “Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, tetapi apa yang menjadi materi muatan undang-undang tidak disebutkan.
A Hamid S. Attamimi berpendapat bahwa materi muatan Undang-Undang Indonesia merupakan hal yang penting untuk diteliti dan dicari oleh karena pembentukan undang-undang suatu negara bergantung pada cita negara dan teori bernegara yang dianutnya, pada kedaulatan dan pembagian kekuasaan dalam negaranya, pada sistem pemerintahan negara yang diselenggarakannya.
Apabila dilihat pada hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, maka hal tersebut bukan hanya ditetapkan semata-mata. Akan tetapi, hal itu lebih dikarenakan peraturan perundang-undangan di Indonesia selain dibentuk oleh lembaga yang berbeda, juga masing-masing mempunyai fungsi dan sekaligus materi muatan yang berbeda sesuai dengan jenjangnya, sehingga tata susunan, fungsi, dan materi peraturan perundang-undangan itu selalu membentuk hubungan fungsional antara peraturan yang satu dengan lainnya.
Sebagaimana telah diketahui, bahwa dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak ditetapkan hal-hal apa saja yang menjadi materi muatan dari Undang-Undang, akan tetapi di dalamnya ada petunjuk-petunjuk yang dapat dipakai untuk mencari dan menemukannya. Untuk menemukan materi muatan Undang-Undang dapat digunakan tiga pedoman, yaitu:
1.      Dari Ketentuan Batang Tubuh UUD 1945
Apabila dilihat dalam Batang Tubuh UUD 1945 maka dapat ditemukan delapan belas masalah yang harus diatur, ditetapkan, atau dilaksanakan dengan/berdasarkan Undang-Undang. Kedepalan belas masalah tersebut ditentukan dalam pasal-pasal sebagai berikut:
Pasal 2 ayat (1), Pasal 12, Pasal 16 ayat (1), Pasal 18, Pasal 19 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23 ayat (3), Pasal 23 ayat (4), Pasal 23 ayat (5), Pasal 24 ayat (1), Pasal 24 ayat (2), Pasal 25, Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), Pasal 28, Pasal 30 ayat (2), dan Pasal 31 ayat (1).
Dari kedelapan belas masalah tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yang mempunyai kesamaan, yaitu:
a.       Kelompok Hak-Hak Asasi Manusia: Pasal 12, Pasal 23 ayat (2), Pasal 23 ayat (3), Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), Pasal 28, Pasal 30 ayat (2), dan Pasal 31 ayat (1).
b.      Kelompok Pembagian Kekuasaan Negara: Pasal 2 ayat (1), Pasal 19 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 24 ayat (2), dan Pasal 25.
c.       Kelompok Penetapan Organisasi dan Alat Kelengkapan Negara: Pasal 16 ayat (1), Pasal 18, Pasal 23 ayat (1), Pasal 23 ayat (4), dan Pasal 23 ayat (5).
Dari pengelompokan ketentuan Batang Tubuh UUD 1945 dapat ditarik kesimpulan bahwa pengaturan tentang hal-hal mengenai Hak-Hak Asasi Manusia, Pembagian Kekuasaan Negara, dan Penetapan Organisasi dan Alat Kelengkapan Negara (dalam hal ini Lembaga Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara) ditetapkan dengan Undang-Undang.
2.      Berdasarkan Wawasan Negara Berdasar atas Hukum Rechtsstaat
Wawasan negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat) ini mengandung beberapa konsekuensi di bidang perundang-undangan, oleh karena hal itu menyangkut masalah pembagian kekuasaan negara dan perlindungan hak asasi manusia.
a.       Polizeistaat
Polizeistaat terbentuk sebagai reaksi dari adanya kekuasaan negara yang absolut (monarki absolut) yang menguasai seluruh perkehidupan manusia. Dalam masa Polizeistaat ini salah satu cirinya adalah undang-undang dibentuk dengan tujuan mengatur untuk semua rakyat (semua untuk rakyat), tetapi pengaturannya tidak oleh rakyat sendiri melainkan oleh negara.
b.        Rechtsstaat Sempit/Liberal
Perkembangan lebih lanjut dari Polizeistaat adalah Rechtsstaat dalam arti sempit atau Liberal, di mana dalam negara berdasar atas hukum yang sempit/liberal ini negara mempunyai fungsi untuk menjaga ketertiban dan ketenangan masyarakat, sehingga negara hanya bertindak apabila ada gangguan terhadap ketertiban dan ketenangan masyarakat. Ciri-cirinya adalah adanya perlindungan Hak Asasi Manusia dan terdapat prinsip Pemisahan/Pembagian Kelompok.
c.         Rechtsstaat Formal
Perkembangan selanjutnya adalah Rechtsstaat yang formal, di mana negara mulai melaksanakan pengaturan untuk kepentingan masyarakat dan tidak dapat lagi melaksanakan/menyelenggarakan segala kebutuhannya sendiri, tetapi untuk hal-hal tertentu telah dirasakan perlunya campur tangan pemerintah/negara sesuai yang ditentukan dalam undang-undang ini. Ciri-ciri dari Rechtstaat Formal ini antara lain adanya prinsip perlindungan hak-hak asasi manusia, prinsip pemisahan/pembagian kekuasaan, prinsip pemerintahan berdasarkan undang-undang, dan prinsip adanya peradilan administrasi.
d.        Rechtsstaat Material/Sosial
Perkembangan terakhir dari negara berdasarkan atas hukum adalah Rechtsstaat Material/Sosial yang sering juga disebut dengan welfare staat atau verzorgingstaat atau negara berdasarkan hukum modern. Dalam wawasan negara hukum yang baru ini, keketatan itu sudah lebih dilonggarkan dengan pengakuan terhadap adanya kebijaksanaan bagi tindakan pemerintahan negara meskipun dengan disertai imbangan dalam bentuk peradilan administrasi. Ciri-ciri dari Rechtsstaat Material/Sosial ini antara lain adanya prinsip perlindungan hak-hak asasi manusia, prinsip pemisahan/pembagian kekuasaan, prinsip pemerintahan berdasarkan undang-undang, prinsip peradilan administrative, dan prinsip pemerintahan yang menciptakan kemakmuran rakyat.
3.      Berdasarkan Wawasan Pemerintahan Berdasarkan Sistem Konstitusi
Wawasan Pemerintahan Berdasarkan Sistem Konstitusi ini merupakan pasangan adanya wawasan negara berdasarkan hukum (Rechtsstaat). Dalam wawasan ini, kewenangan pemerintah beserta segala tindakannya dalam menjalankan tugas-tugasnya dibatasi oleh adanya konstitusi negara tersebut.
Oleh karena Negara Republik Indonesia menganut adanya Wawasan Pemerintah Berdasarkan Sistem Konstitusi, maka kekuasaan perundang-undangan di Negara Republik Indonesia ini terikat oleh Undang-Undang Dasar dan Hukum Dasar, sedangkan kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan peradilannya terikat oleh undang-undang dan hukum negara.
Penjelasan UUD 1945 menentukan pelimpahan kewenangan kepada Undang-Undang untuk mengatur hal-hal yang merupakan pengaturan lebih lanjut dari UUD dan pembentukannya itu sendiri memerlukan persetujuan DPR. Selain itu, Presiden mempunyai wewenang membuat Peraturan Pemerintah bagi pelaksanaan lebih lanjut dari Undang-Undang serta adanya kewenangan Presiden untuk membentuk peraturan lainnya dalam menjalankan pemerintahan.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat ditemukan Sembilan butir materi muatan dari Undang-Undang Indonesia, yaitu:
a.         Yang tegas-tegas diperintahkan oleh UUD dan TAP MPR.
b.        Yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD.
c.         Yang mengatur hak-hak (asasi) manusia.
d.        Yang mengatur hak dan kewajiban warganegara.
e.         Yang mengatur pembagian kekuasaan negara.
f.         Yang mengatur organisasi pokok lembaga-lembaga tertinggi/tinggi negara.
g.        Yang mengatur pembagian wilayah/daerah negara.
h.        Yang mengatur siapa warganegara dan cara memperoleh/kehilangan kewarganegaraan.
i.          Yang dinyatakan oleh suatu Undang-Undang diatur dengan Undang-Undang.[4]
D.    Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan Lainnya (Sebelum Perubahan UUD 1945)
Materi muatan peraturan perundang-undangan lainnya adalah atribusian atau delegasian dari materi muatan Undang-Undang atau materi muatan Keputusan Presiden.
1.      Materi Muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Peratuan Pemerintah Penggati Undang-Undang merupakan peraturan yang setingkat dengan Undang-Undang yang dibuat dalam kegentingan yang memaksa, dibentuk oleh Presiden, dan mempunyai fungsi yang sama Undang-Undang. Oleh karena peraturan ini adalah Peraturan Pemerintah yang setingkat dengan Undang-Undang, maka materi muatannya adalah sama dengan materi muatan dari Undang-Undang.
2.      Materi Muatan Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah adalah peraturan yang dibentuk sebagai peraturan yang menjalankan Undang-Undang, atau peraturan yang dibentuk agar ketentuan dalam Undang-Undang dapat berjalan. Peraturan Pemerintah ini dibuat oleh Presiden. Oleh karena materi muatan Peraturan Pemerintah adalah keseluruhan materi muatan Undang-Undang yang dilimpahkan kepadanya atau dengan kata lain, materi muatan Peraturan Pemerintah adalah sama dengan materi muatan Undang-Undang sebatas yang dilimpahkan kepadanya.
3.      Materi Muatan Keputusan Presiden
Materi ini harus dilihat dari dua segi sesuai fungsi dari Keputusan Presiden tersebut. Pertama, Keputusan Presiden dibentuk oleh Presiden sebagai penyelenggara fungsi pemerintahan sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 di mana fungsi ini merupakan atribusi dari UUD 1945. Kedua, fungsi Keputusan Presiden lainnya adalah menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut dari Peraturan Pemerintah baik yang secara tegas memintanya ataupun yang tidak secara tegas-tegas, di mana fungsi di sini merupakan delegasi dari Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan kedua fungsi tersebut, maka materi muatan dari suatu Keputusan Presiden merupakan materi muatan sisa dari materi muatan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, yaitu materi yang bersifat atribusian, serta materi muatan yang merupakan delegasian dari Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah.
4.      Materi Muatan Peraturan dibawah Keputusan Presiden
Materi muatan peraturan perundang-undangan lainnya merupakan materi muatan yang bersifat atribusian maupun delegasian dari materi muatan Undang-Undang atau Keputusan Presiden oleh karena peraturan perundang-undangan lainnya merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang dan Keputusan Presiden.[5]
E.     Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan (Sesudah Perubahan UUD 1945)
Setelah Perubahan UUD 1945, pendapat mengenai materi muatan undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi tersebut secara resmi diakui. Pengakuan tersebut dituangkan dalam rumusan pasal-pasal Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 22A UUD 1945 Perubahan dan Pasal 6 Ketetapan MPR No. III/MPR/2000.
Dengan berlakunya UUD 1945 Perubahan, cara mencari dan menemukan materi muatan undang-undang dapat dilaksanakan dengan tiga cara yang diajukan oleh A. Hamid S. Attamimi, yaitu:
1.      Ketentuan dalam Batang Tubuh UUD 1945
Apabila dalam Batang Tubuh UUD (Perubahan), maka saat ini terdapat 43 (empat puluh tiga) hal yang diperintahkan secara tegas untuk diatur diatur dengan Undang-Undang. Berbeda dengan pendapat sebelumnya ketika UUD 1945 belum mengalami perubahan, kini A. Hamid S. Attamimi mengelompokan 43 pasal tersebut dalam tiga kelompok yang memiliki kesamaan dan tiga kelompok lainnya. Kelompok-kelompok tersebut antara lain:
a.         Kelompok Lembaga Negara: Pasal 2 ayat (1), Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (5), Pasal 19 ayat (2), Pasal 20A ayat (4), Pasal 22B, Pasal 22C ayat (4), Pasal 22D ayat (4), Pasal 23G ayat (2), Pasal 24 ayat (3), Pasal 24A ayat (5), Pasal 24B ayat (4), Pasal 24C ayat (6), dan Pasal 25.
b.        Kelompok Penetapan Organisasi dan Alat Kelengkapan Negara: Pasal 16, Pasal 17 ayat (4), Pasal 18 ayat (1), Pasal 18 ayat (7), Pasal 18A ayat (1), Pasal 23D, Pasal 23 ayat (4), dan Pasal 23 ayat (5).
c.         Kelompok Hak-Hak Asasi Manusia: Pasal 12, Pasal 15, Pasal 18A ayat (2), Pasal 18B ayat (1), Pasal 18B ayat (2), Pasal 22E ayat (6), Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A, Pasal 23B, Pasal 23D, Pasal 23E ayat (3), Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), Pasal 28, Pasal 28I ayat (5) Pasal 30 ayat (5), Pasal 31 ayat (1), Pasal 33 ayat (5), dan Pasal 34 ayat (4).
d.        Kelompok Pengaturan Wilayah Negara: Pasal 25A.
e.         Kelompok Pengaturan Atribut Negara: Pasal 36C.
f.         Kelompok lain-lain: Pasal 11 ayat (3) dan Pasal 22A.
2.      Berdasarkan Wawasan Negara Berdasarkan atas Hukum (Rechtsstaat)
Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan, ditentukan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat). Wawasan negara berdasarkan atas hukum ini mengandung beberapa konsuensi di bidang perundang-undangan, oleh karena hal itu menyangkut masalah pembagian kekuasaan negara dan perlindungan hak-hak (asasi) manusia.
3.      Berdasarkan Wawasan Pemerintahan Berdasarkan Sistem Konstitusi
Wawasan pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi ini merupakan pasangan adanya wawasan negara berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat). Dalam wawasan ini, kewenangan pemerintah beserta segala tindakannya dalam menjalankan tugas-tugasnya dibatasi oleh ada konstitusi (hukum dasar) negara tersebut.
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tetang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan hal mengenai Materi Muatan Undang-Undang dan Peraturan Perundang-Undangan lainnya dirumuskan dalam pasal-pasalnya. Perumusannya itu sendiri adalah sebagai berikut:
1.      Materi Muatan Undang-Undang
Ketentuan tentang materi Undang-Undang dirumuskan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang berisikan:
Pasal 8
Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal yang:
a.       Mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi:
1)      Hak-hak asasi manusia;
2)      Hak dan kewajiban warga negara;
3)      Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian negara dan pembagian daerah;
4)      Wilayah negara dan pembagian daerah;
5)      Kewarganegaraan dan kependudukan;
6)      Keuangan negara.
b.      Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.
2.      Materi Muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Dalam Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 dinyatakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah peraturan yang setingkat dengan Undang-Undang, sehingga dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 ditetapkan materi muatan Perpu adalah sama dengan materi muatan Undang-Undang.
3.      Materi Muatan Peraturan Pemerintah
Sesuai dengan sifat dan hakikat dari suatu Peraturan Pemerintah yang merupakan peraturan delegasi dari Undang-Undang atau peraturan yang melaksanakan suatu Undang-Undang, maka materi muatan Peraturan Pemerintah adalah seluruh materi muatan Undang-Undang tetapi sebatas yang dilimpahkan, artinya sebatas yang perlu dijalankan atau diselenggarakan lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah.
4.      Materi Muatan Peraturan Presiden
Seperti pendapat A. Hamid S. Attamimi setelah mengetahui dan menemukan apa yang menjadi materi muatan Undang-Undang dan materi muatan Peraturan Pemerintah, maka dapat diketahui materi muatan sisanya berada dalam Peraturan Presiden, baik yang bersifat delegasi maupun atribusi. Hal ini bisa dilihat dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
5.      Materi Muatan Peraturan Daerah
Dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menetapkan bahwa materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi.
6.      Materi Muatan Peraturan Desa
Dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 ditetapkan bahwa materi muatan Peraturan Desa atau yang setingkat adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan desa atau yang setingkat serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi.[6]

   Kesimpulan
Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh metode yang baik, yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan. Indonesia merupakan negara hukum yang mempunyai kewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang baik, yang dilakukan secara terencana, terpadu dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional. Konsep pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia meliputi beberapa konsep yaitu konsep pembentukan peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan konsep negara hukum Pancasila. Selain itu, konsep pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus mengedepankan perlindungan Hak Asasi Manusia. Konsep pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus mengedepankan asas equality before the law. Konsep pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh undang undang.
Setelah memenuhi asas peraturan perundang-undangan, bentuk peraturan perundang-undangan dapat dilaksanakan dalam arti peraturan perundang-undangan yang telah dibentuk dapat diterapkan dan dilaksanakan sebagai landasan hukum bagi negara hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum. Konsep muatan peraturan perundang-undangan harus mampu memberikan pengayoman bagi manusia Indonesia pada umumnya. Mementingkan kehidupan berbangsa dan bernegara mengandung prinsip kekeluargaan serta ke-bhinneka tunggal ikaan yang memunculkan keadilan berdasar Pancasila sebagai falsafah dan ideologi bangsa Indonesia yang memberikan perlindungan hukum kepada seluruh rakyat Indonesia dengan menganut asas persamaan di hadapan hukum.


[1] Backy Krisnayuda, Pancasila dan Undang-Undamg, (Jakarta: Kencana, 2016), hal. 138.
[2] Sony Maulana Sikumbang, S.H., M.H., Fitriani Ahlan Sjarif, S.H., M.H., M. Yahdi Salampessy, S.H, M.H. Pengantar Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan
Journal : KONSEP PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA. Ferry Irawan Febriansyah.



[3] Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan (Yogyakarta: Kanisius, 2017), hal. 231-237
[4] Maria Farida Indrati Soeprapto., Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi, dan Muatan), Yogyakarta: Kanisius, 2017, hal. 234-242.
[5] Maria Farida Indrati Soeprapto., Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi, dan Muatan), hal. 243-245.
[6] Maria Farida Indrati Soeprapto., Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi, dan Muatan), hal. 245-250.

Comments

Popular posts from this blog

Realisme Hukum

TEORI-TEORI DALAM PENALARAN HUKUM