Realisme Hukum
A.
Pengertian
Realisme Hukum
Realisme Hukum berkembang dalam
waktu bersamaan dengan Sociological Jurisprudence. Ada penulis yang memasukkan
“aliran” ini sebagai bagian dari Positivisme Hukum, tetapi ada yang
memasukkannya sebagai bagian dari Neopositivisme atau bahkan sebagai aliran tersendiri.
Ada pula yang mengidentikkan realisme dengan Pragmatic Legal Realism.
Teori realisme hukum merupakan teori yang lahir dari teori
empirisme yang oleh David Hume dipadukan menjadi pengetahuan yang pada intinya
mempunyai pandangan bahwa hukum itu didapatkan pada kenyataan empiris (real).
Empirisme menolak pengetahuan yang hanya mengandalkan penalaran logis ala
rasionalisme abad 18. Ide-ide rasional menurut empirisme bukanlah
segala-galanya. Ia tidak bisa diandalkan sebagai sumber tunggal. Ide-ide itu
perlu dipastikan kebenarannya dalam dunia empiris. Dari situlah
kebenaran sejati dapat diraih. [1]
Realisme hukum adalah suatu aliran pemikiran yang dimulai di
Amerika Serikat. Teori ini dipelopori oleh tokoh-tokoh terkenal dan terbaik
dari kalangan realism seperti : John Chipman Gray, Oliver Wendel Holmes, Jerome
Frank, Dan Karl Llewellyn. Realisme berarti berhubungan dengan dunia nyata,
dunia sebagaimana ia nyatakan berlangsung. Realisme hukum berarti suatu studi
tentang hukum sebagai sesuatu yang benar-benar nyata dilaksanakan, ketimbang
sekedar hukum sebagai sederetan aturan yang hanya termuat dalam
perundang-undangan, tetapi tidak pernah dilaksanakan. Oleh karena itu, sebagian
pakar memandang bahwa pendekatan realis merupakan bagian penting dari pendekatan
sosiologi terhadap hukum.[2]
Kemudian dalam pandangan penganut Realisme (para realis), hukum
adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Karena itu,
program ilmu hukum realis hampir tidak terbatas, kepribadian manusia,
lingkungan sosial, keadaan ekonomi, kepentingan bisnis, gagasan yang sedang
berlaku, emosi-emosi yang umum, semua ini adalah pembentuk hukum dan hasil
hukum dalam kehidupan.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa substansi dari teori realisme
adalah hukum itu didasarkan pada kenyataan empiris bukan didasarkan pada
peraturan perundang-undangan. Hal ini mengindikasikan hukum itu tidak mesti
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam bentuk tertulis. Akan tetapi menurut
teori ini, hukum itu apa yang sebenarnya terjadi dalam praktek empiris.
B.
Tokoh dalam Aliran
Realisme Hukum
1.
Oliver Wendel Holmes
Menurut
Oliver Wendell Holmes, Jr. Sumber hukum utama aliran ini adalah putusan
hakim. Seperti diungkapkan oleh John Chipman Gray[3]
: All the law is judge-made-law, semua yang dimaksudkan dengan hukum adalah
putusan hakim. Hakim lebih sebagai penemu hukum dari pada pembuat hukum yang
mengandalkan peraturan perundang-undangan.
Menurut
Holmes, seorang sarjana hukum harus menghadapi gejala-gejala hidup secara
realistis. Kalau ia berusaha mengambil demikian, ia akan sampai pada kekayaan
bahwa para penjahat pun sama sekali tidak menaruh minat pada prinsip-prinsip
normatif hukum, sekalipun kelakuan mereka seharusnya diatur menurut prinsip-prinsip
itu. Bagi mereka yang penting manakah kelakuan aktual (patterns of behavior)
seorang hakim, yakni pertanyaan, apakah seorang hakim akan menerapkan sanksi
pada suatu kelakukan tertentu atau tidak.
Kelakuan
para hakim pertama-tama ditentukan oleh norma-norma hukum. Berdasarkan tafsiran
lazim norma-norma hukum itu dapat diramalkan, bagaimana kelakuan para hakim di
kemudian hari. Di samping norma-norma hukum bersama tafsirannya, moral hidup
dan kepentingan sosial ikut menentukan keputusan para hakim tersebut."
Ucapan
Holmes yang terkenal, yang dianggap secara tepat menggambarkan Realisme Hukum
Amerika berbunyi, “’Ihe propheicies of what the courts will do infact and
nothing more pretentious, are what I mean by the law.” Secara bebas kalimat itu
dapat diartikan: perkiraan-perkiraan tentang apa yang akan diputuskan oleh
pengadilan, itulah yang saya maksudkan dengan hukum.
Pandangan
Holmes mengenai hukum bermula dari idenya bahwa hukum itu sama halnya dengan
pengalaman, seperti juga halnya dengan logika. Oleh sebab itu, menurutnya hukum
hanyalah sebatas prediksi-prediksi terhadap keputusan apa yang akan dibuat oleh
pengadilan. Ia menekan tentang pentingnya aspek empiris dan pragmatis dari
hukum. Karena itu sebuah police misalnya, yang telah diputuskan atau dibuat
menurut Holmes bukan didasarkan pada pembenaran-pembenaran yang alamiah oleh
ilmu hukum. Tetapi lebih karena alasan
adanya kepentingan masyarakat (sosial) yang faktual.
Pada tahun
1909, Presiden Theodore Roosevelt menunjuk Holmes sebagai hakim di Supre Court
AS. Kata-katanya yang cukup terkenal adalah “jiwa dari hukum bukanlah logika
tetapi pengalaman”. Dia menganjurkan agar pengadilan melihat fakta ditengah
masyarakat yang yang terus berubah, dari pada hanya sekedar menerapkan
slogan-slogan hukum dan formula hukum. Holmes yakin bahwa hukum harus
berkembang dan melayani masyarakat. Dia
mempunyai pengaruh yang besar dalam menganjurkan hakim untuk tidak mengadopsi
mendapat persoalan mereka. Dokrin semacam ini di AS dikenal sebagai Judicial
Restraint.
Schbert[4]
(seorang guru besar ilmu politik di Universitas Michigan. AS) mengomentari
masalah “ramalan” yang dikemukakan Holmes bahwa ada tiga pendekatan dalam
melakukan ramalan yaitu sebagai berikut:
a)
Penggunaan destruktur konversi, yaitu sentral dari
proses perbuatan kebijakan pengadilan terletak pada struktur konversi, dimana
putusan hakim dipengaruhi oleh hasil interaksi dari suatu kelompok dan
pengintergrasian nilai-nilai individu para hakim;
b)
Penggunaan atribut-atribut, yaitu pengaruh pengalaman
pribadi seorang hakim, penunjukan politik hakim dan afiliasi partai politik
dari hakim;
c)
Penggunaan pengaruh orientasi-sikap, yaitu pengaruh
faktor ekonomi dan politik yang berkaitan dengan persoalan vital dan
fundamental pribadi dan keluarga hakim;
Hukum sebagai fakta yang emperis, disamping itu harus
dibedakan dengan moral. Baginya para praktisi hukum harus diperketat pada
persoalan mengenai apa itu hukum, yang bersifat deskriptif, bukan pada
persoalan mengenai bagaimana hukum itu seharusnya, hukum itu harus bersifat
preskriptif. Jadi yang penting adalah kelakuan aktual seorang hakim akan
menerapkan sanksi pada suatu tindak
tertentu atau tidak.
Deskripsi Holmes mengenai prediksi keputusan yang
dibuat oleh pengadilan, menempatkan betapa pentingnya peranan hakim dan praktisi
hukum. Prediksi-prediksi itu harus dibangun berdasarkan pada aspek empiris,
daripada berdasarkan argumentasi logis yang deduktif sifatnya, seperti
ideology. Menurut Holmes bahwa yang mempengaruhi hakim dalam memutuskan suatu
hal adalah : kaidah-kaidah hukum, moral hidup pribadi, dan kepentingan sosial.
Menurut Holmes bahwa aturan-aturan hukum hanya menjadi
salah satu faktor yang patut dipertimbangkan dalam keputusan yang berbobot.
Faktor moral, soal kemanfaatan, dan keutamaan kepentingan social milsalnya,
menjadi faktor yang tidak kalah penting dalam mengambil keputusan yang berisi.
Jadi bukan sebuah pantangan, jika demi keputusan yang fungsional dan
kontekstual, aturan resmi terpaksa disingkirkan (lebih-lebih jika menggunakan
aturan itu justru berakhibat buruk). Holmes menjadi hakim yang monumental dan
seminal,, justru karena penderian moralnya itu. Ia menjadi monument dari a creative lawyer : in accordance with
justice and eguality. Dengan kapasitas seperti ini para hakim memiliki
kompetensi untuk merubah UU, bila hal itu perlu.[5]
Gagasan Holmes ini memang berpengaruh besar dalam
sistim hukum Amerika, karena diterima oleh banyak praktisi disana saat itu. Hal
ini juga meliputi gagasan yang brilian tentang peran Hakim Agung yang harus
menjadi sensor bagi seluruh legislasi dan beragam aturan hukum dan keputusan
yang dibuat di setiap Negara bagian, serta keberadaan peradilan di Amerika yang
secara faktual aparat-aparatnya diisi berdasarkan keputusan para politikus.
Fakta-fakta ini semakin menguatkan Holmes bahwa pentingnya mempercayai
pendekatan yang emperis terhadap proses hukum.
Perbedaan pendapat yang diajukan Hakim Oliver Wendell
Holmes, Jr. adalah pendapat yang paling diingat. Ia menyerang para hakim yang
mempunyai pendapat mayoritas dan menjadi pendapat pengadilan (opinion of the
court). Baginya para hakim itu hanya menerapkan sudut persoalan mereka dalam
menanggapi masalah ini. Pandangan mereka sedemikian dijiwai oleh paham ekonomi
laissez-faire. Dengan paham liberal itu mereka mencoba menggagalkan peraturan
yang telah dibentuk oleh pembentuk undang-undang yang sah. Bagi Holmes
keputusan pengadilan itu dibentuk oleh kecurigaan-kecurigaan dan
tuduhan-tuduhan yang dimiliki para hakim. Namun demikian konstitusi tidaklah
dibuat hanya untuk mengakomodasi sebuah teori ekonomi saja.
Dasar berpikir Realisme Hukum dari Oliver Wendell
Holmes adalah: “Apa yang diputuskan pengadilan lain yang menjadi hukum, kalau
belum diputus belum jadi hukum. Kalo tidak ada pelanggaran hukum, hukum tidak
perlu dibuat, (sesuatu baru perlu dibuat kalau ada kejadiannya).”
Secara singkat gambaran pemikiran dari Oliver Wendell
Holmes tentang hukum sebagai gerakan menentang fomalisasi dari kehendak aturan
atau undang-undang adalah :
a) Hukum adalah
keputusan hakim atau keputusan pengadilan[6],
yang artinya bahwa “hukum itu apa yang dibuat oleh hakim melalui putusannya,
dan hakim lebih banyak disebaut membuat hukum daripada menemukan hukum”.
b)
Pandangan Oliver Wendell Holmes
mengenai hukum bermula dari idenya bahwa hukum itu sama halnya dengan
pengalaman, seperti juga halnya dengan logika.
c) Hukum adalah
kelakuan actual para hakim (patterns of behavior), dimana kelakuan itu
ditentukan oleh tiga faktor sebagai hal yang mempengaruhi putusan hakim, yaitu
kaidah hukum yang dikonkretkan oleh hakim dengan metode interpretasi dan
kontruksi, moral hidup pribadi hakim, dan kepentingan sosial.[7]
2.
Karl Llewllyn
Ada banyak genus penamaan
Pragmatic Legal Realism, oleh
sebagian Mazhab tidak mau menyebutnya “Aliran
Realism Hukum” tetapi lebih tepat untuk mengatakan“Gerakan” realsme hukum (Legal Realism
Movement). Nama yang pernah diajukan untuk realisme hukum ini diantaranya;
Functional Jurisprudence, Experimental Legal Jurist, Legal Pragmatism, Legal
Observationism, Legal Actualism, Legal Modesty.
Realisme
mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara antara dassollen dan das
sein. Agar antara hukum itu mempunyai tujuan maka hendaknya diperhatikan
adanya nilai-nilai itu haruslah seumum mungkin dan tidak boleh dipengaruhi oleh
kehendak observer. Realisme tidak mendasarkan pada konsep-konsep hukum positivistic
yaitu aturan aturan oleh karena realisme bermaksud melukiskan apa yang
dilakukan sebenarnya oleh pengadilan dan orang-orangnya
.[8]
Sebagai
sebuah Anti tesis dari positivistic maka hal ini, tokoh legal realism atau
realism hukum yaitu Karl Nickerson Llewellyn
(1893-1962) sebagaimana dikutip QadriAzizi membantah klaim Positivistik yang
memandang bahwa peraturan perundang undangan dapat menyelesaikan semua
permasalahan yang ada. Karl menyarankan melihat kenyataan bahwa tidak semua
kasus yang ada di pengadilan, khususnya kasus-kasus berat diatur dalam
Undang-Undang.
Hal ini
pada kenyataannya membuat hakim mempunyai peranan yang lebih bebas untuk
memilih dan menentukan serta lebih kreatif didalam penerapan hukum dari pada
sekadar mengambil didalam aturan-aturan yang dibuat oleh penguasa
(Undang-Undang). Dalam ternyata faktor seperti temperamen psikologis hakim,
spiritual, kelas sosial dan nilai-nilai yang ada pada hakim lebih berfungsi
dalam pengambilan keputusan hukum dari pada aturan-aturan yang tertulis yang
telah ditetapkan .[9]
Sehubungan
dengan hal ini, W. Friedmann menjelaskan bahwa menjelang abad kesembilan belas
terjadi sikap skeptisisme yang sehat, yang mengecam rasa puas diri para
penganut ilmu hukum analitik. idealisme hukum baru yang terdiri dari sebagian
metafisis dan sebagian sosiologis, membelok dan mulai menentang positivisme dan
memulai menyelidiki realitas dalam masyarakat modern dalam hubungannya dengan
hukum modern.
Konsep
realisme hukum atau legal realism memberikan kepada hakim kebebasan yang
luar biasa untuk mengambil keputusan dengan aksiologis adalah keadilan. Seorang
hakim tidak lah boleh hanya berpegang kepada peraturan peraturan saja tetapi
hakim wajib menggali, memahami dan melihat dengan jernih fakta fakta sosial
yang terjadi sehingga mampu membuat hukum dalam keputusannya. Setiap
permasalahan atau kasus akanada hukum hukum baru yang dihasilkan oleh
keterampilan, kemampuan dan pemahaman hakim terhadap permasalahan secara mendalam.
Gerakan
realis mulai melihat sebenarnya yang hukum dengan menghubungkan kedua sisinya,
seperti fakta-fakta atau realitas dalam kehidupan sosial. Realisme yang berkembang di Amerika Serikat menjelaskan bagaimana
pengadilan dalam hal ini hakim membuat putusan. Penemuan mereka mengembangkan
formula dalam bagaimana hakim (peradilan) membuat keputusan sebagai suatu fakta
(kenyataan) hukum.
Jadi, hal yang pokok dalam
ilmu hukum realis adalah “gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum”.
Ciri-ciri dari gerakan ini, Llewellyn menyebut beberapa hal, yang terpenting
diantaranya:
a)
Tidak ada mazhab realis,
realisme adalah gerakan dalam pemikiran
dan kerja tentang hukum.
b)
Realisme adalah konsepsi
hukum yang terus berubah dan alat untuk tujuan-tujuan sosial, sehingga tiap
bagian harus diuji tujuan dan akibatnya. Realisme mengandung konsepsi tentang
masyarakat yang berubah lebih cepat daripada hukum.
c)
Realisme menganggap adanya
pemisahan sementara antara hukum yang ada dan yang seharusnya ada untuk tujuan-tujuan
studi. Pendapat-pendapat tentang nilai harus selalu diminta agar tiap
penyelidikan ada sasarannya, tetapi selama penyelidikan, gambaran harus tetap
sebersih mungkin, karena keinginan-keinginan pengamatan atau tujuan-tuan etis.
d)
Realisme tidak percaya
pada ketentuan-ketentuan dan konsepsi-konsepsi hukum, sepanjang ketentuan dan
konsepsi itu menggambarkan apa yang sebenarnya dilakukan oleh
pengadilan-pengadilan dan orang-orang. Realisme menerima peraturan-peraturan
sebagai “ramalan-ramalan umum tentang apa yang akan dilakukan oleh
pengadilan-pengadilan.”
Llewellyn sebagai salah
satu tokoh pragmatic legal realism, mengalisa perkembangan hukum di dalam
kerangka hubungan antara pengetahuan-pengetahuan hukum dengan
perubahan-perubahan keadaan masyarakat. Hukum merupakan bagian dari kebudayaan
yang antara lain mencakup kebiasaan, sikap-sikap maupun cita-cita yang
ditransmisikan dari suatu generasi tertentu ke generasi berikutnya. Dengan kata
lain, hukum merupakan bagian kebudayaan yang telah melembaga. Lembaga-Lembaga
tersebut telah terorganisir dan harapannya terwujud di dalam aturan-aturan
eksplisit yang wajib ditaati serta didukung oleh para ahli.[11]
Jadi yang namanya hukum
itu bukan hanya yang tertulis dalam Undang-Undang atau ketentuan dan peraturan
tertulis, namun lebih besar ditentukan oleh hakim di pengadilan yang pada
umumnya didasarkan pada kenyataan di lapangan. Hakim punya otoritas untuk
menentukan hukum ketika menjatuhkan putusan di pengadilan, meskipun putusannya
itu dalam beberapa hal tidak selalu sama dengan apa yang tertulis dalam
Undang-Undang atau aturan lainnya. Sehubungan dengan itu moralitas hakim sangat
menentukan kualitas hukum yang merupakan hasil putusan pengadilan itu. Dengan
demikian, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa suatu kasus tidak dapat
diadili karena belum ada hukum tertulis yang mengaturnya.[12]
Pokok-pokok pendekatan
kaum realis yang digariskan oleh Llewellyn antara lain:
a)
Hendaknya konsepsi hukum
itu menyinggung hukum yang berubah-ubah dan hukum yang diciptakan oleh
pengadilan.
b)
Hukum adalah alat untuk
mencapai tujuan-tujuan sosial.
c)
Masyarakat berubah lebih
cepat dari hukum, karenanya selalu diperlukan penyelidikan untuk mengetahui
bagaimana hukum itu menghadapi problem-problem sosial yang ada.
d)
Guna keperluan studi harus
ada perbedaan antara “is” dan “ought”.
e)
Tidak mempunyai anggapan
bahwa peraturan-peraturan dan konsep hukum itu sudah mencukupi apa yang harus
dilakukan oleh pengadilan. Hal ini selalu merupakan masalah utama dalam
pendekatan terhadap hukum.
f)
Sehubungan dengan butir di
atas, mereka juga menolak teori tradisional yang mengatakan bahwa peraturan
hukum itu merupakan faktor utama dalam mengambil keputusan.
g)
Mempelajari hukum
hendaknya dalam lingkup yang lebih sempit sehingga lebih nyata.
Peraturan-peraturan hukum itu meliputi situasi-situasi yang banyak dan
berbeda-beda, karena itu ia bersifat umum, tidak konkret dan tidak nyata.
h)
Hendaknya hukum itu
dinilai dari efektifitasnya dan kemanfaatannya untuk menemukan efek-efek
tersebut[13].
Akhirnya secara ringkas,
Llewellyn sendiri membuat sebuah ungkapan yang paling tepat menurutnya,
“realisme bukanlah suatu filosufi, tetapi suatu teknologi, suatu metoda, bukan
yang lain”.
3.
Jerome Frank
Salah satu tokoh American
Legal Realism adalah Jerome New Frank, lahir di New York 10 September 1889. Ia
merupakan seorang advokat praktek, peneliti dan pernah menjabat sebagai
chairman of the Securities and Exchange Commission pada tahun 1939
sampai dengan tahun 1941 dan federal appellate judge of the United States
Court of Appeals for the Second Circuit sejak tahun 1941 sampai dengan ia
meninggal tahun 1957. Salah satu bukunya yang terkenal adalah Law and the
Modern Mind dan menjadi jurisprudential bestseller dan mendapat kritik yang
luas.
Menurut Jerome Frank, istilah “realism” dalam aliran
realisme hukum berarti sebagai lawan dan romantisme, fantasisme, mempercantik
diri, dan angan-angan kosong, “in the opposition, fantasying, prettifying,
and wishful thinking”.[14]
Menurut Frank, meskipun aturan hukum juga tidak pasti (uncertain),
tetapi unsur kepastiannya masih ada walaupun sedikit, tetapi fakta hukum sangat
tidak pasti.
Frank mengungkapkan “rule skeptics”
yang bertujuan untuk mewujudkan kepastian hukum yang lebih besar. Terdapat
pandangan bahwa ketika para sarjana hukum mengajukan suatu gugatan mereka
seharusnya dapat memperdikasi putusan pengadilan terhadap klien mereka, padahal
mereka tidak dapat menjamin mengenai bagaimana putusan pengadilan tersebut.
Apa yang disebut realisme
Frank adalah adanya kesamaan tentang sebuah ikatan negatif karakteristik yaitu
skeptisme terhadap teori hukum konvensional. Skeptisme yang disimulasikan untuk
sebuah semangat mereformasi untuk kepentingan keadilan dari cara pandang
pengadilan.[15]
Skeptisme ini dilihat sebagai
suatu permasalahan karena “paper rules” atau peraturan hukum formal yang
disampaikan dalam pendapat pengadilan sering tidak dapat dijadikan petunjuk untuk
mempredikasi putusan pengadilan. Sebaliknya “real rules” yaitu diskripsi atas
ketidakseragaman atau peraturan dalam perilaku judisial yang sebenarnya dan
real rules ini akan lebih dapat dihandalkan untuk menjadi sebuah instrument
prediksi. Rule skeptics terfokus secara ekslusif hampir di pengadilan yang
lebih tinggi yaitu pengadilan banding yang bertujuan untuk mencari makna
terhadap akurasi tabakan atas putusan banding.
Kebanyakan dari lawyers
(advokat dan jaksa) merupakan korban dari mitos pengadilan banding. Mereka
tertipu dengan percaya pada dua kolerasi kesalahan. Pertama, mereka percaya
bahwa kebanyakan disebabkan ketidakpastian hukum adalah ketidakpastian
undang-undang, maka apabila undang-undang jelas keraguan akan putusan yang akan
dating akan hilang. Kedua, mereka percaya bahwa dengan banding, semua kesalahan
yang dibuat oleh pengadilan tingkat bawah akan dapat diperbaiki oleh pengadilan
banding. Faktanya mayoritas penyebab kepastian hukum adalah ketidakjelasan
fakta atau yang disebut sebagai ketidaktahuan.[16]
Ketika persidangan di
pengadilan, para pihak setuju atas fakta, maka fakta tersebut tidak
diperselisihkan maka pengadilan banding hanya akan menghadapi pertanyaan yang
sama lagi di mana mereka tidak dapat menjawabnya. Hal ini dikarenakan tidak ada
seorang pun yang tahu fakta apa yang akan dicari dari pengadilan maka tidak ada
seorang pun dapat menebak preseden apa yang seharusnya diikuti oleh siding
pengadilan arau jika terjadi banding.
Kesimpulan dari pandangan
Frank adalah hukum dicerminkan dari perilaku ahli hukum (lawyer) yang bekerja
di pengadilan, terutama pengadilan tingkat bawah dan yang lebih tinggi
(banding). Hukum dipandang sebagai suatu kumpulan fakta-fakta yang disampaikan
di pengadilan dan dipilih baik oleh hakim atau juri yang kemudian dimasukkan ke
dalam putusan pengadilan. Ketidakpastian akan hukum terjadi karena
ketidaktahuan akan pola persamaan atau ketidaksamaan fakta-fakta yang dijadikan
pertimbangan atau masukan dalam putusan pengadilan. Hal ini menjadi
permasalahan untuk menciptakan kepastian hukum. Keadilan dalam pandangan Frank
merupakan keadilan yudisial, yang tercermin dalam putusan pengadilan. Oleh
karenanya kepastian hukum pada akhirnya akan menciptakan keadilan yudisial.
[1] Bernard
L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Teori Hukum (Strategi Tertib
Manusia Lintas Ruang dan Generasi), (Semarang: Genta Publising, 2003), hlm.
165.
[2] Achmad Ali, Wiwie Heryani, Sosiologi Hukum Kajian
Empiris Terhadap Pengadilan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012),
hlm. 45.
[3]
Darji. dkk, Pokok-Pokok Filsafat hukum,
apa dan bagaimana filsafat hukum Indonesia, ( Jakarta : PT. Gramedia Utama,
2006), hlm. 136.
[4] Marwan
Mas, Pengantar Ilmu Hukum, ( Jakarta
: Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 129-130.
[5]
Bernard L, Teori Hukum strategi tertib
Manusia lintas ruang dan generasi, (Surabaya : CV. Kita, 2006), hlm.138.
[6] Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, ( Jakarta :
Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 128-129.
[7] Marwan
Mas, Pengantar Ilmu Hukum, ( Jakarta
: Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 129.
[8] Damang, Pragmatic Legal Realism, (Medan : Portibi
Press, 2011), hlm.4.
[9] A Qadri Azizi, Elektisisme Hukum Nasional : Kompetisi antara Hukum Islam Dan Hukum Umum,
(Yogyakarta : Gama Media Offset, 2013), hlm. 205-206.
[10] W. Friedmann,
alih bahasa Muhammad Arifin, Teori dan
Filsafat Hukum : Telaah Kritis atas Teori-Teori Hukum, (Jakarta: CV. Rajawali, 1990), Cet. Pertama, hlm.191-192.
[11] Soerjono Soekanto, Perspektif
Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, (Jakarta : CV. Rajawali, 1985), hlm. 33.
[12] A Qadri Azizi, Elektisisme Hukum Nasional : Kompetisi antara Hukum Islam Dan Hukum Umum,
(Yogyakarta : Gama Media Offset, 2013), hlm. 207-208.
[13] A Qadri Azizi, Elektisisme Hukum Nasional : Kompetisi antara Hukum Islam Dan Hukum Umum,
(Yogyakarta : Gama Media Offset, 2013), 209.
[14] Muhammad
Erwin, Filsafat Hukum : Refleksi Kritis terhadao Hukum dan Hukum Indonesia
(dalam Dimensi Ide dan Aplikasi), Edisi Revisi, (Jakarta : Rajawali
Press, 2016), hlm. 279.
[15]
Vidya Prahassacitta, “Pandangan Realisme Hukum dari Jerome Frank”, https://business-law.binus.ac.id/2018/11/09/pandangan-realisme-hukum-dari-jerome-frank/ di akses pada tanggal 22 Mei 2019
[16] Vidya
Prahassacitta, “Pandangan Realisme Hukum dari Jerome Frank”, https://business-law.binus.ac.id/2018/11/09/pandangan-realisme-hukum-dari-jerome-frank/ di akses pada tanggal 22 Mei 2019
Comments
Post a Comment