HUKUM ORGANISASI PERUSAHAAN : PERSEKUTUAN PERDATA
A.
Definisi
Persekutuan Perdata
Menurut Pasal 1618 KUH Perdata, persekutuan perdata adalah
suatu perjanjian dengan dua orang atau lebih, yang saling mengikatkan diri untuk
memasukkan sesuatu ke dalam persekutuan (inbreng
atau contribution) dengan maksud untuk
membagi keuntungan (manfaat) yang terjadi karenanya. Dari pengertian tersebut dapat
ditarik tiga unsure penting, yaitu:[1]
1. Persekutuan
perdata adalah perjanjian (kontrak)
2. Prestasi
masing-masing pihak adalah memasukkan sesuatu atau memberikan kontribusi modal
ke dalam persekutuan
3. Tujuannya
adalah membagi keuntungan (advantage atau
profit)
Persekutuan perdata merupakan suatu perjanjian
yang konsekuensinya dalam persekutuan perdata modalnya tidak selalu uang, akan tetapi
dapat berupa barang, kerajinan, atau keterampilan.
Ketentuan
mengenai persekutuan perdata diatur dalam Buku III, Bab 8 Pasal 1618 sampai dengan
Pasal 1623 KUH Perdata.[2] Dalam
suatu persekutuan perdata terdapat “sifat kepribadian” yang berarti bahwa masing-masing
sekutu dalam persekutuan perdata saling mengenal secara pribadi, misalnya antar
saudara atau teman akrab.
B.
Kepengurusan
Persekutuan Perdata
Pada umumnya, pengurus persekutuan perdata
adalah para sekutunya itu sendiri. Adapun siapa yang ditunjuk untuk mengurus persekutuan,
sepenuhnya menjadi wewenang dan disepakati di antara para sekutu tersebut.
Kesepakatan itu dapat dilakukan dengan menuangkannya di dalam perjanjian persekutuan
(anggaran dasar), atau dapat juga dilakukan di luar anggaran dasar.
Pengangkatan pengurus yang disepakati di
dalam anggaran dasar biasanya disebut dengan pengangkatan secara statute (gerantstatutaire), karena kesepakatan itu dituangkan di dalam
statute persekutuan tersebut.
Sedangkan pengangkatan pengurus di luar anggaran
dasar atau dalam kesepakatan tersendiri yang terpisah dari anggaran dasar biasanya
disebut pengangkatan secara mandater (gerantmandataire), karena para sekutu kemudian
memberi mandate kepada sekutu yang ditunjuk untuk melakukan pengurusan. [3]
Jika pengangkatan pengurus dilakukan secara
statute, maka pengurus tersebut tidak
dapat diberhentikan tanpa mengubah anggaran dasar itu karena pengangkatan secara
statute itu adalah salah satu klausula kesepakatan yang telah ditetapkan
di dalam perjanjian persekutuan.
Segala perubahan perjanjian harus dilakukan
dengan perjanjian pula. Sedangkan pengurus yang diangkat secara mandater dapat diberhentikan di tengah jalan
tanpa harus mengubah perjanjian persekutuan atau anggaran dasar yang
bersangkutan.
Mengenai pembagian keuntungan dan
kerugian, para sekutu bebas untuk menentukan bagaimana keuntungan maatschaap akan dibagikan di antara
mereka. Apabila hal ini tidak diatur, maka keuntungan atau kerugian akan dibagikan
seimbang menurut kontribusi setiap sekutu dan sekutu yang hanya mengkontribusikan
keterampilan, jerih payah, akan memperoleh keuntungan atau kerugian yang sama dengan
sekutu yang kontribusinya paling kecil baik dalam hal uang maupun barang. [4]
C.
Bubarnya
Persekutuan
Berakhirnya persekutuan perdata diatur
dalam Pasal 1646 sampai dengan 1652 KUHPerdata. Pasal 1646 KUHPerdata
mempergunakan kata “Maatschap eindight” (persekutuan berakhir). Namun menurut
Purwosutjipto, pemakaian kata “berakhir” kuranglah tepat, sebab sesudah apa
yang disebut “berakhir” itu masih harus ada perbuatan yang disebut
“pemberesan”. Menurut logika Purwosutjipto, dengan penggunaan kata “berakhir”
itu menurutnya sudah tidak ada lagi perbuatan hukum yang harus dikerjakan.
Padahal sebelum sebuah persekutuan perdata itu benar-benar berakhir masih ada
perbuatan hukum yang harus dikerjakan, yaitu pemberesan. Oleh sebab itu,
Purwosutjipto lebih suka menerjemahkan kata “eindight” dengan kata “bubar”. [5]
Bubar itu merupakan suatu peristiwa bila
suatu perjanjian tidak dapat dijalankan lagi. Pada saat sebuat persekutuan
bubar, maka perjanjian mendirikan persekutuan perdata itu sudah tidak ada lagi,
namun utang, piutang, urusan perusahaan (benda tetap, benda bergerak, dan
lain-lainnya) yang masih harus diselesaikan sebelum persekutuan perdata
tersebut benar-benar berakhir. Dengan demikian, setelah suatu persekutuan
perdata bubar, kemudian harus diikuti dengan pemberesan. Setelah pemberesan
barulah persekutuan perdata tersebut benar-benar telah berakhir.
Adapun sebab-sebab bubarnya persekutuan
perdata adalah karena beberapa hal di bawah ini, yaitu:
a. Lampaunya
waktu untuk mana persekutuan perdata itu didirikan;
Jika
di dalam perjanjian persekutuan telah ditentukan jangka waktu berlangsungnya
persekutuan, maka bila jangka waktu itu telah terpenuhi, maka demi hukum
perjanjian persekutuan itu berakhir atau dengan kata lain persekutuan perdata
bubar, kecuali jika diperpanjang dengan perjanjian berikutnya (amendment).
b. Musnahnya
barang atau benda yang menjadi objek persekutuan;
Pasal
1648 KUHPerdata menentukan bahwa jika salah seorang sekutu berjanji untuk
memasukkan barang miliknya ke dalam persekutuan, kemudian barang itu musnah
sebelum pemasukkan terlaksana, maka persekutuan menjadi bubar terhadap semua
sekutu lainnya. Begitu pula bagi
persekutuan dalam segala hal bubar jika barangnya musnah, apabila hanya
kenikmatan atas itu saja yang dimasukkan ke dalam persekutuan, sedangkan hak
miliknya tetap berapa pada sekutu. Namun demikian, persekutuan tidak menjadi
bubar karena musnahnya barang yang menjadi miliknya setelah barang tersebut
dimasukkan ke dalam persekutuan.
c. Selesainya
Perbuatan yang Menjadi Pokok Persekutuan;
Di dalam praktik sering kali beberapa
perseroan terbatas mengadakan konsorsium untuk mengerjakan suatu proyek
konstruksi yang terbatas proyek itu saja. Jika proyek tersebut telah selesai,
maka demi hukum konsorsium tersebut demi hukum bubar. [6]
d. Kehendak
Para Sekutu;
Definisi
persekutuan perdata menegaskan bahwa persekutuan perdata adalah perjanjian.
Oleh karenanya jika para pihak (dalam hal ini, para sekutu) dalam perjanjian
itu tidak menghendaki lagi untuk melanjutkan persekutuan, maka persekutuan itu
bubar dengan sendirinya. Namun demikian, proses pembubarannya itu tetap harus
memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam ketentuan tentang bagaimana
mengakhiri suatu perjanjian. Oleh karena itu, perjanjian adalah suatu
kesepakatan para pihak yang saling berjanji, maka mengakhiri perjanjian juga
harus dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak yang terkait dengan
perjanjian yang bersangkutan. Artinya, persekutuan tidak dapat dibubarkan hanya
oleh kehendak seorang sekutu saja, kecuali jika ada alasan yang sah menurut
hukum.
e. Salah
seorang sekutu meninggal dunia atau di bawah pengampuan atau dinyatakan pailit.
Kembali
pada definisi persekutuan sebagai perjanjian yang menekankan pada hubungan
timbale balik dalam hak dan kewajiban, maka bila salah satu pihak yang berjanji
itu meninggal dunia, maka perjanjian itu berakhir karena tidak dimungkinkannya
lagi pelaksanaan perjanjian itu. Demikian pula dalam perjanjian persekutuan,
jika salah sorang sekutunya meninggal dunia, maka persekutuan itu bubar, karena
hubungan hak dan kewajibann itu tidak mungkin lagi untuk dilaksanakan.
D.
Hubungan
Persekutuan Perdata dengan Firma dan Persekutuan Komanditer
Di dalam hukum Belanda, pengertian vennotschapsretchts lebih sempit, yaitu
sekedar pada NV, Firma, dan CV yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Dagang (KUHD) dan persekutuan perdata yang dianggap sebagai induknya diatur
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. [7]
Hukum Persekutuan merupakan keseluruhan kaidah hukum yang megatur seluruh aspek
kegiatan perusahaan, baik dari aspek pendirian perusahaan, proses bekerjanya,
dan beroperasinya perusahaan sampai bubarnya perusahaan.
Persekutuan perdata adalah genus dari
bentuk kerja sama dalam bentuk persekutuan. Bentuk khusus (species) perjanjian persekutuan perdata ini adalah firma dan
persekutuan komanditer. Genusnya diatur dalam buku III KUH Perdata sebagai
perjanjian bernama, sedangkan spesiesnya diatur dalam KUHD.
Penganturan tentang firma dan
persekutuan komanditer di dalam KUHD sangat singkat. Ini berlainan dengan
persekutuan perdata yang diatur secara perinci di dalam KUH Perdata. Pengaturan
yang demikian dapat dipahami. Ketentuan persekutuan perdata di dalam KUH
Perdata menjadi ketentuan umum yang dapat berlaku baik bagi persekutuan perdata
sendiri maupun firma dan persekutuan komanditer yang merupakan persekutuan
perdata. Ketentuan yang berkaitan dengan firma dan persekutuan komanditer dalam
KUHD adalah aturan yang bersifat khusus. Sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan khusus, maka ketentuan umum persekutuan perdata berlaku juga bagi
firma dan persekutuan komanditer.
E.
BENTUK-BENTUK
PERSEKUTUAN PERDATA
Ada beberapa bentuk hukum persekutuan perdata yang
dikenal di dalam praktik, yaitu:
a. Persekutuan
perdata dapat terjadi antara pribadi-pribadi yang melakukan suatu pekerjaan
bebas (profesi), seperti pengacara, dokter, arsitek, dan akuntan. Asosiasinya
tidak menjalankan perusahaan, tetapi lebih mengutamakan orang-orang yang
menjadi pesertanya dan juga tidak menjadikan elemen modal organisatorisnya
(ciri-ciri menjalankan perusahaan) sebagai unsur utamanya. Mereka tidaklah
menjalankan perusahaan dibawah nama bersama.[8]
b. Adakalanya
pula persekutuan bertindak keluar kepada pihak ketiga secara terang-terangan dan
terus menerus mencari laba, maka persekutuan perdata tersebut dikatakan
menjalankan perusahaan.[9]
Persekutuan perdata yang demikian dapat terjadi, misalnya A seorang pedagang
yang tinggal di Jakarta, kemudian B juga seorang pedagang yang tinggal di Jakarta;
kedua orang ini bersepakat untuk membentuk persekutuan perdata yang bergerak
dalam bidang perbengkelan dengan nama Bengkel X. Persekutuan perdata ini memang
bermaksud untuk menjalankan perusahaan.
c. Suatu
perjanjian kerja sama dari suatu transaksi sekali segera setempat. Misalnya,
kerja sama untuk membeli barang secara bersama-sama dan kemudian dijual dengan
mendapat keuntungan. Dalam hal unsur kerja sama secara terus-menerus sesuai
dengan suatu pekerjaan atau menjalankan perusahaan tidak terdapat didalamnya,
apalagi dalam kasus semacam ini pada umumnya tidak menjalankan perusahaan
dibawah nama bersama.
Pasal
1620-1623 KUH Perdata membagi
persekutuan perdata dalam dua jenis, yaitu:
1. Persekutuan
Perdata Umum (algehele maatschap)
Persekutuan
perdata umum adalah persekutuan perdata dimana para sekutu memasukkan seluruh
hartanya atau bagian yang sepadan dengannya. Persekutuan yang demikian dilarang
Undang-Undang Pasal 1621 KUH Perdata. Pasal ini membolehkan persekutuan perdata
penuh dengan keuntungan . dengan perkataan lain, pasal 1621 KUHPerdata
memperbolehkan yang dimasukkan itu
seluruh keuntungan. Larangan ini dapat dipahami, dengan pemasukan tanpa
perincian, orang akan sulit membagi keuntungan secara adil sebagaimana
ditentukan Pasal 1633 KUH Perdata.
Pasal
1633 KUH Perdata menentukan bahwa jika di dalam perjanjian persekutuan perdata
tidak ditentukan bagian keuntungan dan kerugian masing-masing, maka dibagi
menurut keseimbangan pemasukan masing-masing sekutu. Kemudian bagi sekutu hanya
memasukkan tenaga kerja, pembagian keuntungan dan kerugian ditentukan sesuai
dengan pemasukan sekutu berupa uang atau barang yang paling sedikit.
Pasal
1622 KUH Perdata memperbolehkan perdata memperjanjikan bahwa masing-masing
sekutu akan mencurahkan seluruh tenaga kerjanya untuk mendapatkan keuntungan
untuk dibagi kepada semua sekutu. Persekutuan perdata yang demikian dinamakan
persekutuan perdata keuntungan (algehele maatschap van winst).
2. Persekutuan
perdata Khusus (bijzondere maatschap).
Di dalam persekutuan perdata khusus, para sekutu
menjanjikan pemasukan benda-benda tertentu atau sebagian tenaga kerjanya.
Persekutuan yang demikian diatur dalam pasal 1633 KUH Perdata.
Di Amerika Serikat dan Inggris,
persekutuan perdata dibedakan menjadi general partnership dan limited
partnership. General partnershipmaknanya sama seperti persekutuan perdata,
yakni persekutuan perdata biasa (ordinary partnership). Firma masuk
dalam kategori general partnership. Adapun limited partnership adalah
persekutuan perdata dimana ada salah seorang atau lebih sekutu yang hanya
betanggung jawab sebesar jumlah nominal uang yang telah dimasukkan atau
diinvestasikan kedalam persekutuan.[10]
Bentuk persekutuan yang kedua ini sama persekutuan komanditer menurut hukum
Indonesia.
Rudhi Prasetya menyatakan bahwa
persekutuan perdata bersifat dua muka, yaitu dapat untuk kegiatan komersial dan
dapat pula untuk kegiatan bukan komersial termasuk dalam hal ini persekutuan
perdata yang menjalankan profesi. Dalam praktik dewasa ini, persekutuan perdata
yang paling banyak dipakai justru untuk nonkomersial. Kegiatan nonkomersial itu
adalah kegiatan menjalankan profesi. Misalnya, persekutuan perdata diantara
beberapa konsultan hukum atau advokat dalam menjalankan profesinya. Demikian
juga persekutuan perdata di antara beberapa akuntan dalam menjalankan
profesinya.[11]
Jika di Indonesia Persekutuan
memiliki dua muka, baik yang bertipe untuk kegiatan komersial maupun untuk
kegiatan bukan komersial, didalam sistem common law persekutuan peradata
lebih bersifat komersial karena tergambar dalam unsure persekutuan perdata yang
bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Unsure tujuan untuk mendapatkan
keuntungan merupakan unsure esensial dalam makna menjalankan perusahaan
berdasarkan hukum Indonesia.
Dalam dunia bisnis dewasa ini,
persekutuan perdata berkembang lebih jauh lagi. Ia tidak lagi tampil dalam
bentuk yang konvensional. Justru persekutuan perdata dibentuk atau diadakan
oleh perusahaan-perusahaan yang berbadab hukum, seperti PT. Kerja sama dalam
bentuk persekutuan perdata tersebut biasnya ditujukan untuk menjalankan suatu
bisnis tertentu yang melibatkan beberapa PT tanpa harus membentuk perusahaan
patungan (joint venture company). Bentuk kerja sama bisnis tersebut
dalam praktiknya kadang disebut konsorsium, kadang juga disebut joint
management atau joint operation contract. Hal ini antara lain dapat dilihat
dalam kerja sama antara PT Bumi Siak Pusako (BSP) dan PT Pesero Pertamina
(Pesero). Konsorsium ini dilakukan
mengingat PT BSP yang memiliki hak untuk mengeksploitasi beberapa sumur
minyak di beberapa blok Riau yang dahulunya dikuasai oleh PT Caltex Pacific
Indonesia (sekarang PT Chevron Pasific Indonesia), tetapi tidak memiliki
keahlian dan pengalaman dalam bidang perminyakan, maka diadakan konsorsium
dengan PT Pertamina (Persero). Dengan konsorsium ini mereka bersama-sama
mengeksploitasi sumur minyak tersebut.
F. TANGGUNG
JAWAB SEKUTU
Tanggung jawab (aansprakelijkheid
atau liability), bearti kewajiban untuk mengganti kerugian apabila
perikatan yang sudah dijanjikan tidak ditunaikan, sehingga jika perikatan itu
benar-benar tidak dilaksanakan, maka orang (sekutu) itu bertanggung jawab dapat
atau digugat untuk memenuhi prestasinya.[12]
Berdasarkan Pasal 1642 sampai dengan Pasal 1645 KUH
Perdata, tanggung jawab sekutu dalam persekutuan dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Bila
seorang sekutu mengadakan hubungan hukum dengan pihak ketiga, maka sekutu yang
bersangkutan sajalah yang bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan hukum yang
dilakukan dengan pihak ketiga itu, walaupun ia mengatakan bahwa dia berbuat
untuk kepentingan persekutuan.
2. Perbuatan
tersebut baru mengikat sekutu-sekutu yang lain apabila:
a. Nyata-nyata
ada surat kuasa dari sekutu yang lain;
b. Hasil
perbuatannya atau keuntungannya itu telah nyata-nyata dinikmati persekutuan.
3. Apabila
beberapa orang sekutu persekutuan perdata mengadakan hubungan dengan pihak
ketiga, maka para sekutu itu dapat dipertangung jawabkan sama rata, meskipun
pemasukan mereka masing-masing tidak sama, kecuali apabila dalam perjanjian
yang dibuatnya dengan pihak ketiga itu dengan tegas ditetapkan imbangan
tanggung jawab masing-masing sekutu menurut perjanjian itu.
4. Apabila
seorang sekutu persekutuan perdata mengadakan hubungan hukum dengan pihak
ketiga atas nama persekutuan, maka persekutuan dapat langsung menggugat pihak
ketiga itu.
G.
Pembubaran
dan Pemberesan
Berakhirnya persekutuan perdata diatur
dalam Pasal 1646 sampai dengan 1652 KUHPerdata. Pasal 1646 KUHPerdata
mempergunakan kata “Maatschap eindight” (persekutuan berakhir). Namun menurut
Purwosutjipto, pemakaian kata “berakhir” kuranglah tepat, sebab sesudah apa
yang disebut “berakhir” itu masih harus ada perbuatan yang disebut
“pemberesan”. Menurut logika Purwosutjipto, dengan penggunaan kata “berakhir”
itu menurutnya sudah tidak ada lagi perbuatan hukum yang harus dikerjakan.
Padahal sebelum sebuah persekutuan perdata itu benar-benar berakhir masih ada
perbuatan hukum yang harus dikerjakan, yaitu pemberesan. Oleh sebab itu,
Purwosutjipto lebih suka menerjemahkan kata “eindight” dengan kata “bubar”. [13]
Bubar itu merupakan suatu peristiwa bila
suatu perjanjian tidak dapat dijalankan lagi. Pada saat sebuat persekutuan
bubar, maka perjanjian mendirikan persekutuan perdata itu sudah tidak ada lagi,
namun utang, piutang, urusan perusahaan (benda tetap, benda bergerak, dan
lain-lainnya) yang masih harus diselesaikan sebelum persekutuan perdata
tersebut benar-benar berakhir. Dengan demikian, setelah suatu persekutuan
perdata bubar, kemudian harus diikuti dengan pemberesan. Setelah pemberesan
barulah persekutuan perdata tersebut benar-benar telah berakhir.
Adapun sebab-sebab bubarnya persekutuan
perdata adalah karena beberapa hal di bawah ini, yaitu:
a. Lampaunya
waktu untuk mana persekutuan perdata itu didirikan;
Jika
di dalam perjanjian persekutuan telah ditentukan jangka waktu berlangsungnya
persekutuan, maka bila jangka waktu itu telah terpenuhi, maka demi hukum
perjanjian persekutuan itu berakhir atau dengan kata lain persekutuan perdata
bubar, kecuali jika diperpanjang dengan perjanjian berikutnya (amendment).
b. Musnahnya
barang atau benda yang menjadi objek persekutuan;
Pasal
1648 KUHPerdata menentukan bahwa jika salah seorang sekutu berjanji untuk
memasukkan barang miliknya ke dalam persekutuan, kemudian barang itu musnah
sebelum pemasukkan terlaksana, maka persekutuan menjadi bubar terhadap semua
sekutu lainnya. Begitu pula bagi
persekutuan dalam segala hal bubar jika barangnya musnah, apabila hanya
kenikmatan atas itu saja yang dimasukkan ke dalam persekutuan, sedangkan hak
miliknya tetap berapa pada sekutu. Namun demikian, persekutuan tidak menjadi
bubar karena musnahnya barang yang menjadi miliknya setelah barang tersebut
dimasukkan ke dalam persekutuan.
c. Selesainya
Perbuatan yang Menjadi Pokok Persekutuan;
Di dalam praktik sering kali beberapa
perseroan terbatas mengadakan konsorsium untuk mengerjakan suatu proyek
konstruksi yang terbatas proyek itu saja. Jika proyek tersebut telah selesai,
maka demi hukum konsorsium tersebut demi hukum bubar. [14]
d. Kehendak
Para Sekutu;
Definisi
persekutuan perdata menegaskan bahwa persekutuan perdata adalah perjanjian.
Oleh karenanya jika para pihak (dalam hal ini, para sekutu) dalam perjanjian
itu tidak menghendaki lagi untuk melanjutkan persekutuan, maka persekutuan itu
bubar dengan sendirinya. Namun demikian, proses pembubarannya itu tetap harus
memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam ketentuan tentang bagaimana
mengakhiri suatu perjanjian. Oleh karena itu, perjanjian adalah suatu
kesepakatan para pihak yang saling berjanji, maka mengakhiri perjanjian juga
harus dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak yang terkait dengan
perjanjian yang bersangkutan. Artinya, persekutuan tidak dapat dibubarkan hanya
oleh kehendak seorang sekutu saja, kecuali jika ada alasan yang sah menurut
hukum.
e. Salah
seorang sekutu meninggal dunia atau di bawah pengampuan atau dinyatakan pailit.
Kembali
pada definisi persekutuan sebagai perjanjian yang menekankan pada hubungan
timbale balik dalam hak dan kewajiban, maka bila salah satu pihak yang berjanji
itu meninggal dunia, maka perjanjian itu berakhir karena tidak dimungkinkannya
lagi pelaksanaan perjanjian itu. Demikian pula dalam perjanjian persekutuan,
jika salah sorang sekutunya meninggal dunia, maka persekutuan itu bubar, karena
hubungan hak dan kewajibann itu tidak mungkin lagi untuk dilaksanakan.
Bila sebuah persekutuan perdata bubar, itu
tidak berarti bahwa persoalan persekutuan perdata itu sudah selesai atau sudah
berakhir. Pada saat bubarnya persekutuan perdata masih banyak persoalan yang
harus diselesaikan, misalnya utang-utang yang belum dibayar lunas,
piutang-piutang yang belum ditagih, harta kekayaan yang belum diinventarisasi,
sisa hasil keuntungan yang belum dibagi kepada para sekutu dan lain-lain.
Tindakan ini disebut tindakan pemberesan atau likuidasi. Orang yang melakukan
likuidasi atau pemberasan itu disebut likuidator. Siapa yang menjadi likuidator
itu biasanya ditunjuk oleh anggaran dasar dari persekutuan perdata yang
bersangkutan. Jika anggaran dasar tidak menunjuk, maka yang menunjuk pengurus
terakhirlah yang harus melakukan pemberesan ini. Adapun tugas dari likuidator adalah:
1. Menginventarisasi
harta kekayaan persekutuan perdata yang bersangkutan;
2. Menagih
semua pituang persekutuan dari debiturnya;
3. Melakukan
hak reklame pada barang-barang yang masih ada di tempat pembeli; menuntut
dikembalikannya barang-barang yang masih ada di tempat pihak ketiga;
4. Membayar
semua tagihan-tagihan kreditor persekutuan, termasuk tagihan pemberes;
5. Membagi
sisa keuntungan kepada para sekutu yang masih berhak;
6. Pemberes
dapat mewakili persekutuan di muka dan di luar pengadilan;
7. Pemberes
memberikan laporan lengkap kepada pengurus yang memberikan tugas.
Setelah
pemberesan ini selesai dan sudah tidak ada lagi persoalan yang menyangkut
persekutuan perdata yang bersangkutan, maka barulah persekutuan perdata
tersebut berakhir.[15]
DAFTAR PUSTAKA
Ibrahim,
S.H., M.Hum., Dr. Johannes. Hukum Organisasi Perusahaan - Pola Kemitraan Dan
Badan Hukum. Bandung: PT Refika Aditama, 2006.
Sardjono, S.H., M.H., Prof. Dr. Agus. PENGANTAR
HUKUM DAGANG. Cet. 3. Jakarta: Rajawali Pers, 2016.
Pasal
1635 KUH Perdata
Pasal 1636 KUH
Perdata
Chidir
Ali,Badan Hukum,PT Alumni, Bandung, 1987.
H.M.N.
Purwosutjipto,OP. Cit., ...Jilid 2
Angel
Schneeman, Loc. cit. Lihat juga David Kelly, et. Al.
Rudhi
Prasetya, Matschap, Firma, dan Persekutuan Komanditer, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2002
Zainal
Asikin, Hukum Dagang, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2014
[3]Pasal
1636 KUH Perdata
[4]Pasal 1635 KUH Perdata
[6] Prof. Dr. H. Zainal Asikin, S.H., SU, PENGANTAR HUKUM PERUSAHAAN, (Jakarta: PT Raja Grafindo Pers.), 2014
[7]Zainal Asikin, Hukum Dagang, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm. 43.
[8] Chidir Ali,Badan Hukum,PT Alumni, Bandung, 1987, hlm. 8-9.
[9] H.M.N. Purwosutjipto,OP. Cit., ...Jilid 2, hlm. 18
[10] Angel Schneeman, Loc. cit. Lihat juga David Kelly, et. Al., Op.
cit., hlm. 290.
[11] Rudhi Prasetya, Matschap, Firma, dan Persekutuan Komanditer, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 4-5
[12] Rudhi Prasetya, Matschap, Firma, dan Persekutuan Komanditer,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 4-5
[14] Prof. Dr. H. Zainal Asikin, S.H., SU, PENGANTAR HUKUM PERUSAHAAN, (Jakarta: PT Raja Grafindo Pers.), 2014
[15] Prof. Dr. Agus Sardjono, S.H., M.H., PENGANTAR
HUKUM DAGANG, (Jakarta: Rajawali Pers), 2016
Comments
Post a Comment