HUKUM LINGKUNGAN DI BADUY




Gunung nteu meunang dilebur
Lebak nteu meunang diruksak
Lojor nteu meunang dipotong
Pendek nteu meunang disambung

Gunung tak boleh dihancurkan
Lembah tak boleh dirusak
Panjang tak boleh dirusak
Pendek tak boleh disambung

Itu adalah salah satu bentuk ungkapan filosofis dari suku Baduy yang hingga kini terus berusaha menjaga kelestarian alam dan adat, sejak nereka lahir di bumi Banten. Bulan November lalu, kami melakukan perjalanan ke Suku Baduy untuk melaksanakan salah satu tugas mata kuliah Antropologi Hukum. Dalam tugas ini, kami memilih tema Hukum Lingkungan yang hidup di dalam Masyarakat Baduy.
Masyarakat Baduy adalah kelompok masyarakat yang tinggal mengasingkan diri di sckitar Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kccarnatan Leuwidarnar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten[1]. Di tengah kemajuan teknologi pada saat ini, Masyarakat Baduy masih mempertahankan kearifan lokalnya. Memegang teguh budaya dan adat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka, menampik segala kemewahan teknologi dan hidup dengan bersahaja di lingkungan yang serba manual dan juga tidak tergiur oleh perkembangan teknologi. Masyarakat Baduy tidak mengenal sistem pendidikan formal, dan mereka hidup dalam aturan agama yang disebut sunda wiwitan, yang percaya pada yang maha tunggal dan roh leluhurnya.[2]
Pada perjalanan ini, kami akan tinggal selama 2 hari 1 malam di rumah salah satu warga di Baduy luar, dan kami pun berkesempatan untuk mewawancarai salah satu tokoh adat dari Baduy Dalam. Beliau bernama Bapak Mursyid. Hal pertama yang kami tanyakan kepada Pak Mursyid adalah bagaimana kepemilikkan tanah di Baduy.
Kata Pak Mursyid, kepemilikkan tanah di Baduy adalah tanah ulayat. Di dalam sistem tanah ulayat ini tidak ada kepemilikkan individu, dan tanah yang bisa dijadikan kampung, dijadikan lahan, dan kawasan hutan itu sudah diatur. Hal ini diatur oleh Perda Kab. Lebak No. 32 Tahun 2001. Perda ini mengatur luas dan kejelasanbatas-batas antara tanah adat dengan tanah luar. Selanjutnya Pak mursyid menyatakan bahwa sebelum adanya perda ini, tanah ulayat ini rawan sengketa dan setelah ada perda ini sudah jarang terjadinya sengketa.
Di dalam Mayarakat Baduy tentunya terdapat Hukum Adat. Di Baduy bentuk hukum adatnya ada struktur, tugas dan fungsinya. Sanksinya pun tergantung pelanggaran. Jika pelanggaran yang dilakukan ringan, akan dinasehati oleh Jaro atau kepala desa. Terdapat juga hukuman di usir dari kampung, akan tetapi masih ada hukuman yang paling berat yaitu sumpah adat.
Berdasarkan penjelasan dari Pak Mursyid, sistem Hukum Lingkungan di Baduy Dalam dan Baduy Luar secara general itu sama, tetapi tetap ada beberapa kebijakan yang berbeda. Di Baduy ini terdapat Lembaga adat yang mengurusi adat di Baduy seperti hukum dan hal-hal kehidupan lainnya. Karena, semua aturan yang ada di Masyarakat Baduy tentu saja tidak bisa lepas dari hukum. Hukum lingkungan, kehidupan sehari-hari serta nilai-nilai budaya adalah tugas dan tanggung jawab dari Lembaga adat kepada warga baduy.
Di Baduy terdapat beberapa jenis hutan yaitu, hutan lindung, hutan tutupan, dan hutan garapan. Kalau di area hutan garapan, hasil hutannya boleh di ambil sesuai dengan kesepakatan seperti kayu atau tanaman-tanaman yang mau di jual itu juga ada aturan system jual belinya sendiri. Tapi, kalai di area hutan lindung bukan untuk garapan. Lebih kepada pembagian tugas untuk ibadah. Kayu-kayu yang dipakai sebagai kayu bakar berasal dari hutan garpan dan tidak diberikan sanksi karena mengambilnya. Di Baduy pun terdapat hutan larangan, dimana hutan larangan ini diperlakukan istimewa, dijaga keutuhannya dan dirawat kesehatannya. Siapa pun dilarang memasuki Kawasan hutan larangan ini, tidak diperkenankan pula untuk mengusiknya maupun mengambil sesuatu dari Kawasan hutan larangan. Hal ini bukan karena angker atau keramat, namun karena masyarakat Baduy sangan menghormati dan menghargai alam atas dasar pemahaman terhadap potensi yang dikandungnya.
Kearifan local masyarakat Baduy dalama mengelola sumberdaya alam antara lain terlihat dari aturan pembagian wilayah menjadi tiga zona, yaitu zona reuma (pemukiman), zona heuma (tegalan atau tanah garapan), dan zona leuweung kolot (hutan tua).[3] Masyarakat Baduy dalam "peri kehidupannya" selalu berpedornan kepada hurul (aturan) yang telah ditentukan dalam bentuk pikukuh karuhun. Aturan utamanya adalah konsistensi terhadap penataan ruang yang telah menjadi aturan, yakni kawasan hutan untuk perlindungan lingkungan dan kawasan budidaya untuk lahan pertanian dan atau pemukiman. Pikukuh karuhun harus ditaati oleh masyarakat Baduy dan masyarakat luar yang sedang berkunjung ke Baduy. Ketentuan-ketentuan itu di antaranya sebagai berikut:
1.      Dilarang mengubah jalan air, misalnya membuat kolam ikan, mengatur drai- nase, dan membuat irigasi. Oleh karena itu, sistem pertanian padinya adalah padi ladang. Pertanian padi sawah dilarang di komunitas Baduy.
2.      Dilarang mengubah bentuk tanah, misalnya menggali tanah untuk membuat sumur, meratakan tanah untuk permu- kiman, dan mencangkul tanah untuk pertanian.
3.      Dilarang masuk hutan titipan (leuweung titipan) untuk menebang pohon, membuka ladang, atau mengambil hasil hutan. Kawasan larangan dan perlin- dungan tidak dapat dialihfungsikan untuk kegiatan apapun.
4.      Dilarang menggunakan teknologi kimia, misalnya menggunakan pupuk, obat pemberantas hama, mandi mengguna- kan sabun, pasta gigi, mencuci meng- gunakan detergent, atau meracun ikan.
5.      Dilarang menanam tanaman budi daya perkebunan, seperti kopi, kakao, ceng- keh, kelapa sawit.
6.      Dilarang memelihara binatang ternak berkaki empat, seperti sapi, kambing, kerbau.
7.      Dilarang berladang sembarangan. Berladang harus sesuai dengan ketentuan adat.
8.      Dilarang menggunakan sembarang pakaian. Ditentukan adanya keseragaman dalam berpakaian. Baduy Dalam ber- pakaian putih-putih dengan ikat kepala putih, Baduy Luar berpakaian hitam atau biru gelap dengan ikat kepala hitam atau biru gelap.
Kegiatan utama masyarakat Baduy, pada hakekatnya terdiri dari pengelolaan lahan untuk kegiatan pertanian (ngahuma) dan pengelolaan serta perneliharaan hutan untuk perlindungan lingkungaan. Pada hakikatnya kegiatan utama masya- rakat Baduy adalah menyelamatkan dan menjaga tanah larangan yang telah di- keramatkan oleh leluhurnya. Oleh kar- ena itu, perilaku masyarakat Baduy selalu diarahkan pada pengelolaan hutan dan lingkungannya dan pengelolaan lahan untuk kegiatan pertanian (ngahuma). Kegiatan pengelolaan lahannya dilakukan dengan menggunakan sistem padi kering yang lahannya di-bera-kan. Setiap tahapan perladangan diatur oleh ketentuan adat yang wajib ditaati seluruh masyarakat Baduy. Kesemuanya itu dilakukan dengan mendasarkan pada ketentuan adat dan pikukuh yang telah tertanam dalam jiwa dan dilakukan dengan penuh kesadaran oleh seluruh anggota masyarakat Baduy. 
untuk informasi lebih lengkap dapat menonton dari tugas video yang kami buat di : https://youtu.be/sP3yuZ3Tii0











[1]              Gunggung Senoaji, “MASYARAKAT BADUY, HUTAN, DAN LINGKUNGAN,” J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN, Vol. 17, No. 2 (July 2010).
[2]              Gunggung Senoaji, “MASYARAKAT BADUY, HUTAN, DAN LINGKUNGAN,” J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN, Vol. 17, No. 2 (July 2010).
[3]              Suparmini, Sriadi Setyawati, dan Dyah Respati Suryo Sumunar, “PELESTARIAN LINGKUNGAN MASYARAKAT BADUY BERBASIS KEARIFAN LOKAL”, Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 18, No. 1( April 2013).


Comments

Popular posts from this blog

Realisme Hukum

MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

TEORI-TEORI DALAM PENALARAN HUKUM