KOMNAS PEREMPUAN



Profil Komnas Perempuan
Indonesia adalah salah satu negara yang menunjukkan perhatian terhadap nasib perempuan Indonesia dan wajib mematuhinya, dengan meratifikasi konvensi tersebut ke dalam UU (Lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women).
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan adalah lembaga negara yang independen untuk penegakan hak asasi manusia perempuan Indonesia. Komnas Perempuan dibentuk melalui Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998, pada tanggal 9 Oktober 1998, yang diperkuat dengan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005.
Komnas Perempuan lahir dari tuntutan masyarakat sipil, terutama kaum perempuan, kepada pemerintah untuk mewujudkan tanggung jawab negara dalam menanggapi dan menangani persoalan kekerasan terhadap perempuan. Tuntutan tersebut berakar pada tragedi kekerasan seksual yang terutama dialami oleh perempuan etnis Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998 di berbagai kota besar di Indonesia.
Komnas Perempuan dimandatkan untuk melakukan pemantauan, pencegahan, pendidikan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Komnas Perempuan memiliki mekanisme pemantauan sejumlah kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan di seluruh Indonesia, melakukan pendokumentasian laporan dan pengaduan korban, serta memfasilitasi pengembangan lembaga-lembaga pendamping dan pemulihan korban maupun pemerintah. Komnas Perempuan lahir berdasarkan konstitusi, Konvensi CEDAW, dan UU Nomor 7 Tahun 1984. Konvensi CEDAW adalah konvensi internasional yang dihadiri oleh berbagai negara di seluruh dunia (tidak hanya negara-negara barat) yang berlaku secara universal bagi perjuangan atas nasib seluruh perempuan di seluruh dunia.
Komnas Perempuan tumbuh menjadi salah satu Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia (LNHAM), sesuai dengan kriteria-kriteria umum yang dikembangkan dalam The Paris Principles. Kiprah aktif Komnas Perempuan menjadikan lembaga ini contoh berbagai pihak dalam mengembangkan dan meneguhkan mekanisme HAM untuk pemajuan upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan baik di tingkat lokal, nasional, kawasan, maupun internasional.
Tujuan Komnas Perempuan:
1.      Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi manusia perempuan di Indonesia;
2.      Meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hak-hak asasi perempuan.
Peran Komnas Perempuan:
1.      Pemantau dan pelapor tentang pelanggaran HAM berbasis gender dan kondisi pemenuhan hak perempuan korban;
2.      Pusat pengetahuan (resource center) tentang hak asasi perempuan;
3.      Pemicu perubahan serta perumusan kebijakan;
4.      Negosiator dan mediator antara pemerintah dengan komunitas korban dan komunitas pejuang hak asasi perempuan, dengan menitikberatkan pada pemenuhan tanggung jawab negara pada penegakan hak asasi manusia dan pada pemulihan hak-hak korban;
5.      Fasilitator pengembangan dan penguatan jaringan di tingkat lokal, nasional, regional dan internasional untuk kepentingan pencegahan, peningkatan kapasitas penanganan dan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Oleh karena itu Komnas Perempuan bekerja bukan hanya dalam wilayah akademik atau konsep-konsep sosial masyarakat, tetapi juga pengembangan pengetahuan tentang kekerasan terhadap perempuan melalui fakta lapangan, laporan, dan pengaduan korban, bekerja sama dengan lembaga pendamping korban yang berbasis masyarakat sipil atau pemerintah, dan melakukan analisis kekerasan berbasis gender (konvensi CEDAW) dan instrumen hak asasi manusia berbasis gender.
            Kerja-kerja Komnas Perempuan dalam pemantauan telah mendokumentasi kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Indonesia dan dilaporkan setiap tahunnya kepada negara maupun masyarakat dalam bentuk Laporan Tahunan dan Konsultasi Publik, serta Catatan Tahunan Komnas Perempuan. Berbagai laporan tersebut merupakan catatan yang didasarkan pada analisis fakta lapangan, laporan, dan pengaduan korban, dan trend kekerasan terhadap perempuan di masyarakat.
Komnas Perempuan dan RUU  Penghapusan Kekerasan Seksual
Berdasarkan “Catatan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2017” yang dihimpun oleh Komnas Perempuan, angka kekerasan seksual di ranah privat/personal menempati posisi tertinggi kedua, di bawah kekerasan fisik. Persentasenya cukup besar, yakni 31 persen atau sebanyak 2.979 kasus dari seluruh laporan yang masuk.  Yang memprihatinkan, bentuk kekerasan seksual di ranah pribadi paling banyak dilakukan oleh orang terdekat yang masih memiliki hubungan darah (incest) dengan total 1.210 laporan.
Secara umum, permasalahan kekerasan seksual memang jamak terjadi di berbagai belahan dunia. Bahkan di Eropa sendiri, Swedia yang sering dianggap sebagai negara paling sejahtera misalnya, turut menyumbang angka kekerasan seksual tertinggi mencapai 81 persen. Meskipun begitu, angka tersebut bisa muncul lantaran masyarakat – terutama perempuan – di negara itu aktif untuk melaporkan kasus yang menimpanya, sehingga memudahkan pencatatan.
Masyarakat dengan tingkat kesetaraan gender yang tinggi membuat perempuan di negara tersebut berani berbicara untuk melakukan laporan terhadap pihak berwajib. Sebab, ada aturan hukum yang jelas mengatur, misalnya terkait dengan korban kekerasan seksual. Selain itu, ketiadaan stigma buruk terhadap perempuan yang menjadi korban, membuat mereka aktif berbicara. Hal ini tentu berbeda jika dibandingkan dengan Indonesia, di mana masyarakat umumnya masih takut untuk melaporkan tindak kekerasan seksual yang diterima.
Korban perempuan yang mengalami kekerasan seksual biasanya tidak berani untuk mengadu, melaporkan, ataupun membela diri karena takut mengalami stigma dan prasangka yang buruk terhadap dirinya, dan karena itu perempuan mengalami kekerasan tersebut secara berulang kali (reproduksi kekerasan) dari berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu, perlu disadari bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual diperlukan untuk mengisi kekosongan hukum yang ada.
Selama ini, korban kekerasan seksual tidak mendapatkan keadilan karena hanya memanfaatkan UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan UU Perlindungan Anak. Sementara, nyatanya hal tersebut belum substansial dan menyebabkan timbulnya kekosongan hukum. Kekosongan hukum ini seharusnya bisa diisi oleh RUU PKS tersebut.
Rohani Budi Prihatin dalam artikel Perspektif Sosiologis tentang Kekerasan Seksual terhadap Perempuan di Indonesia menyebut budaya patriarki telah melahirkan struktur dan sistem sosial yang sangat kental, sehingga melegitimasi terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan.
Akibatnya, muncul berbagai masalah sosial yang membelenggu kebebasan perempuan dan melanggar hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh perempuan. Meskipun Indonesia adalah negara hukum, namun kenyataannya payung hukum sendiri belum mampu mengakomodasi berbagai permasalahan sosial tersebut. Penyebabnya masih kalsik, yaitu karena ranah perempuan masih dianggap terlalu domestik. Sehingga, penegakan hukum pun masih lemah dan tidak adil secara gender.
Oleh karena itu, RUU PKS adalah salah satu instrumen hukum yang lahir dari tuntutan, keterlibatan, pengalaman dan pengetahun tentang dan untuk perempuan, yang akan bermanfaat bagi kehidupan, perlindungan dan keadilan bagi perempuan.


Comments

Popular posts from this blog

Realisme Hukum

MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Introduction yang telat