Logika dan Penalaran Hukum : Aspek Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis dalam Penalaran Hukum


A.    ASPEK ONTOLOGIS
Aspek ontologis adalah aspek yang mempersoalkan apa yang merupakan hakikat dan realitas. Hakikat sama artinya dengan sebab terdalam dari adanya sesuatu. Aspek ini menandai kelahiran pertama filsafat, yang diawali dari proyek kotemplatif  Thales (624-546 SM) tentang hakikat alam semesta.
1.      Pendekatan realitas sebagai materi
Materialisme berpendapat bahwa hakikat dari segala sesuatu yang ada itu adalah materi. Jiwa bukanlah hakikat yang berdiri sendiri melainkan akibat dari pergerakan benda-benda materi. Pandangan demikian dapat diitarik kebelakang, ke pemikiran  “Atomisme” dari Demokritos (460-370 SM). Menurutnya atom-lah wujud materi terkecil tersebut. Apa yang ada (materi) hanya mungkin muncul dari yang ada (materi juga). Tidak mungkin sesuatu yang tidak eksis (nonmateri) dapat menghadirkan sesuatu yang materi. Unsur terkecil materi tersebut menempati ruang kosong, dank arena itu atom-atom ini terus bergerak, bertabrakan, dan menciptakan system gerakan (mekanisme) tertentu, yang dikenal sebagai hukum alam (law of nature).
Dalam filsafat timur, Materialisme telah menjadi dasar falsafah yang cukup berpengaruh, seperti Charkavah di India pada abad ke-7  SM. Materialisme kemudian terus berkembang dalam berbagai versi pemikiran, seperti materialisme-rasionalistis, Materialisme parsial, Materialisme-antropologis, Materialisme dialektis, atau Materialiisme-historis.
2.      Pendekatan realitas sebagai ide (gagasan)
Pandangan yang bertolak belakang dari Materialisme ini adalah Idealisme. Menurut idealisme, hakikat pengada itu justru unsur rohani (spiritual). Rohani adalah dunia ide, bukan dunia materi. Ide lebih hakiki diibandingkan materi karena yang disebutkan terakhir ini hanyalah penjelmaan dari yang pertama.
Plato (427-347 SM) adalah seorangg filsuf yang berjasa menjelaskan secara sederhana aliran berpikir Idealisme ini.  Ia menyatakan bahwa materi itu bias saa berubah atau bahkan musnah, tetapi ide tentang materi tersebut tidak hilang. Kuda, misalnya, dapat berbeda-beda warna, berat, dan penampakannya, atau menjadi tua, sakit dan mati Kendati “materi”kuda ini sudah tidak eksis lagi, tenyata ide tentang kuda itu tetap abadi.


3.      Pendekatan realitas oleh aliran Dualisme, yang mengatakan hakikat realitas justru keduanya sekaligus.
Dualisme kemudian menjadai pandangan yang menarik karena dapat dijelaskan langsung keberadaannya pada diri manusia. Walaupun begitu, Dualisme dinilai tidak mampu menjawab pertanyaan tentang kesesuaian antara materi dan ide, bagaimana dan siapa yang mebuat kedua reliitas itu dapat berkesesuaian.
Semua wujud realitas di alam semesta pada dasarnya dapat dijadikan objek-contoh untuk menjelaskan ketiga pendekatan ontologism tersebut. Dalam konteks ini, objek yang dijadikan sorotan adala realitas “hukum” itu sendiri. Piliihan ini sengaja dilakukan guna mempertajam deskripsi model-model penalaran hukum.
Seorang filsuf Romawi, Cicero (106-43 SM) menyatakan pemahamannya tentang hukum,yaitu bahwa di satu sisi hukum itu menyatu dengan masyarakat dan disisi lain hukum itu merupakan akal budi alamiah kebudayaan manusia. Menurut C.A van Peursen, kebudayaan merupakan endapan dari kegiatan dan karya manusia atau manifestasi kehidupan setiap orang dan sekelompok orang. Selo Soemardjan mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan hasil cipta, rasa, dan karya masyarakat yang dimanfaatkan menurut karsa masyarakat itu.
Menurut Greetz kebudayaan adalah sebuah pola makna-makna atau ide-ide yang termuat dalam symbol-simbol yang dengannya masyarakat menjalani pengetahuan mereka tentang kehidupandan mengeskspresikan kesadaran mereka melali simbo-simbol itu.
Bernardo Bernardi menyampaikan suatu konsep yang kemudian direduksi oleh Soerjanto Poespowardojo, dengan membagi fenomena kebudayaan dalam empat factor dasar, yaitu:
a.       Anthropos, faktor yang berkaitan dengan manusia. Baik kebudayaan maupun Hukum dimana keduanya berhubungan dengan manusia.
b.      Oikos, universum kosmis yakni lingkungan alam tempat manusia melakukan kreativitasnya.
c.       Tekne, yaitu peralatan yang digunakan manusia sebagai perpanjangan tangan untuk membantunya mengolah kehidupan. Manusia sebagai a tool making animal. Seberapa cepat perubahan kebudayaanmanusia, sangat dipengaruhi oleh seberapa besar akses yang diserap seseorang atau kelompok orang terhadap teknoloi yang menimpanya. Kedudukan tekne ini sangat penting bahkan menentukan pola-pola penalaran yang dipakai oleh masing-masing model penalaran.
d.      Ethnos, yaitu manusia sebagai komunitas. Kebudayaan lahir dari kolektivitas dan akan dikembalikan kepada kolektivitas itu juga, yang antara lain dituangkan dalam jalinan nilai-nilai yang mengatur tatanan kehidupan masyarakat tersebut.
B.     Aspek Epistemologis
Empirisme berasal dari kata empirik, yang bearti pengalaman (empeiria). Empirisme adalah aliran dasar dalam epistemologi yang menganggap sumber satu-satunya pengetahuan bagi manusia adalah pengalaman, tepatnya melalui observasi inderawi. Tokoh utama dari Empirisme adalah Jhon Locke (1632-1704), pencetus teori Tabula Rasa (harfiah bearti "meja lilin"), yang kemudian dikenal luas sebagai Bapak Empirisme. Selain Jhon Locke, kemudian Berkeley (1685-1753) dan David Hume (1711-1776).
E. Mach (1836-1916) mengatakan, bahwa dasar pengetahuan adalah pengalaman langsung dari kenyataan. Namun, Mach mempunyai pengertian spesifik terhadap sifat kenyataan itu. Menurutnya kenyataan itu tidak terdiri dari "objek-objek"yang dapat langsung dikenal, akan tetapi terdiri dari warna, suhu, waktu, dan sebagainya, yang merupakan unsur dasar atau disebut dengan elemen . Inilah yang ditangkap oleh panca indera. Jadi, keseluruha  kenyataan dialami oleh manusi adalah arus elemen. Arus elemen inilah yang menjadi dasar pengembangan ilmu.
Pendekatan Induktif yang diunakan Empirisme ditentang oleh aliran berpikir Rasionalisme, yaitu aliran dasar dari epistemology yang mengaggap sumber pengetahuan satu-satunya adalah rasio (akal budi). Rasionalisme tidak menolak besarnya manfaat pengalaman inderawi dalam kehidupan manusia. Namun, persepsi inderawi hanya digunakan untuk merangsang kerja akal. Maka menurut pendapat kaum Rasionalis akal berada di atas pengalam inderawi.
Descrates  (1596-1650) adalah tokoh penting dalam Rasionalisme. Ia melihat realitas sebagai substansi yang terdiri dari dua macam:
1.               Ide, gagasan, pikiran, atau kesadaran (res cogitan);
2.               Materi atau perluasan  (rexx extensa).
Kesadaran tidak terikat pada ruang dan waktu kalau perluasan adalah sebaliknya. Descrates berpendapat eksistensi manusia itu diitentukan oleh kesadarannya sesuai denggan slogannya yang terkenal “Cogito ergo sum” (aku berpikir maka aku ada).
Pendapat Descrates ini kemudian ditentang oleh Baruch Spinoza (1632-1677) yang berpendapat bahwa kedua hal tersebut baik kesadaran dan perluasan menyatu dalam ungkapan tentang alam (termasuk Tuhan), sehingga keduanya juga terikat pada ruang dan waktu. Alam dan Tuhan ini kemudian  diidentikkan oleh Spinoza(Panteisme).
Kemudian Immanuel Kant (1772-1804) menyuarakan pendapatnya tentang kekhawatirannya terhadap dikotomi empiris dan rasio, yang dipicu oleh dampak perdebatan epistemologis yang ternyata telah menyetuh wilayah teologis seperti diungkapkan Spinoza. Menurut Kant dikotomi ini seharusnya tidak perlu ada , karena keduanya dpat saling mengisi.
Kemudian berlanjut kepada Karl Marx (1818-1883) yang membalikkan cara berpikiir Hegel (melalui pengarah Ludwig Feuerbach (1804-1872). Menurut Marx bukan rasio yang menentukan relitas kehidupan, tetapi sebaliknya. Jadi Rasionalisme pada Hegel kemudian menjadi Empirisme pada Marx, yang mengacu kepada dunia pengalamnyang ditentukan oleh factor ekonomi. Sejarah ditentukan oleh basis ekonomi yang kemudian secara mencolok terbentuk realitas dan suprastruktur yang meliputi duniia seni, ideologi, dan agama.
Setelah Kritisisme Kant kemudian ada aliran yang cenderung mengawinkan kedua pendekatan sebelumnya yaitu aliiran Positivisme. Aliran ini dianggap menjadi sumber inspirasi dari kelahiiran Positivisme logis.Positivisme pertama kali dikembangkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Beliau adalah pencetus Hukum Tiga Tahap (Law of Three Stages), yakni tahap teologi atau fiktif, tahap metafisik atau abstrak, dan tahap positif atau riil.. Pemikiran beliau diklaim sebagai “jembatan”antara Rasionalisme Descartes dan Empirisme Bacon.
Keyakinan Positivisme menuai kritik karena tidak semua orang percaya pada keandalan indera dan akal manusia. Manusia tidak akan mampu menangkap hakikat dari keseluruhan suatu objek, jiika hanya mengandalkan pada pengetahuan atas bagian-bagian tertentu dari objek itu. Pengetahuan tentang hakikat suatu objek tidak sama dengan penjumlahan atas pengetahuan dari bagian-bagian tersebut. Sepert hakikat dari keadilan , tidak dapat diketahui hanya dengan memahamipersepi keadilan. Sebagai jalan keluarnya, harus dicari modalitas lain yaitu intuisi. Menurut Kant Intuisi adalah suatu data empiris yan menentukan isi
Pandangan Henri Bergson  (1859-1941) yang dikenal sebagai perintis kajian komprehensif tentang intuisi, dalam pandangannya Bergson membedakan intuisi dengan rasio terletak pada konsep durasi. Yaitu sebuah proses yang mengalir tanpa akhir. Menurut pengakuan para ahli uraiaimtuisi dari Bergson ini sulit dipahami, khususnya pada konsep durasi yang dimaksud.




C.    Aspek Aksiologis
Dalam aspek Aksiologis diasumsikan bahwa manusia adalah makhluk yang independen, berkehendak bebas (fee will).Sebab hanya dengan kebebasan itulah terdapat pertanggung jawaban(baik moral maupun hukum). Ada banyak aliran yang menelaah aspek aksiologi dari tindakan manusia. Aspek Aksiologis dibagi dalam tiga kelompok yaitu:
1.      Idealisme-etis
Aspek yang meyakini bahwa ukuran baik-burukdalam bertindak ditetapkan oleh nilai-nilai spiritual.
2.      Deontologisme-etis
Diambil dari kata  Yunani “deon” yang bearti apa yang harus dilakukan atau kewajiban. Deontologiisme menilai baik buruk suatu tindakan dari sudut tindakan itu sendiri, bukan dari akibatnya
3.      Teologisme-etis (Eudemonisme)
Karena ukurannya adalah hasil, maka aspek aksiologis lalu merambah kebanyak sisi, baik dari sudut psikologis maupun ekonomis. Kemudian pandangan ini menurut Sonny Keraf memunculkan dua sub pemikiran, yaitu Egoisme dan Utilitarianisme.


Comments

Popular posts from this blog

Realisme Hukum

MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Introduction yang telat