HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM : UTILITARIANISME
Model penalaran hukum utilitarianisme pada dasarnya berangkat dari titik tolak yang sama dengan positivisme hukum yang memaknai hukum sebagai norma positif dalam sistem perundang-undangan. Aspek ontologis dari model penalaran utilitarianisme tidak berbeda. apa yang membedakan utilitarianisme dan positivisme hukum adalah pada gerakan top-down yang kemudian diikuti dengan gerakan bottom-up. Gerakan bottom-up ini muncul karena norma positif dalam sistem perundang-undangan itu harus diuji dalam lapangan kenyataan. Utilitarianisme dalam konteks ini sebenarnya memberi nilai tambah pada positivisme hukum, namun ironisnya, juga membuat hukum kehilangan kemurniannya seperti diinginkan Kelsen.
Secara teoretis kepastian dan kemanfaatan tidak berada pada posisi sederajat. Inlah yang membedakannya dengan model penalaran hukum ala (American) Sosiological Jurispudence. Kepastian hukum menurut Utilitarianisme harus menjadi tujuan primer hukum, baru kemudian diikuti dengan kemanfaatan sebagai tujuan sekundernya. Sayangnya, semua konstruksi berpikir ini hanya ada di benak pengemban hukum itu, tidak mungkin dapat dibaca secara eksplisit oleh penstudi hukum, sehingga secara kasat mata oleh pihak eksternal si penalar, model penalaran Utilitarianisme ini sulit dibedakan dengan Sosiological Juruspudence.
Idealnya, putusan hakim yang telah diberi muatan kemanfaatan ini adalah masukan bagi para pembentuk hukum di lembaga legislatif. Utilitarianisme mensyaratkan adanya kerja sama yang baik antara lembaga peradilan dan lembaga legislatif, antara penerap dan pembentuk hukum. Setiap kasus yang dibawa ke muka hakim, dengan demikian adalah test-case terhadap segi efficacy suatu norma positif dalam sistem perundang-undangan. Sekalipun demikian, bayangan ideal ini menjadi Utopia karena Utilitarianisme membuat hakim harus setia kepada bunyi rumusan norma positif dalam sistem perundang-undangan. Ini harus dilakukan demi tujuan kepastian. Di sisi yang berbeda, apabila hakim meyakini ada ketidakmanfaatan dalam aplikasi rumusan itu untuk kasus yang dihadapinya, ia juga tidak dapat berbuat banyak karena tujuan kemanfaatan adalah sekunder baginya. Oleh sebab itu, ruang gerak hakim yan utilitarian dibatasi oleh jenis norma positifnya.
Kepastian hukum menurut utilitarianisme harus menjadi tujuan primer hukum, baru kemudian diikuti kemanfaatan sebagai tujuan sekundernya. Karena basis dari utilitarianisme ini sama dengan positivisme hukum, maka model penalaran ini dapat dianggap sebagai modifikasi dari legisme, yaitu bentuk positivisme hukum yang paling konservatif. model penalaran ini bahkan dapat dianggap sebagai "penyusupan sosiologi" lewat pintu belakang bangunan positivisme hukum. Oleh karena itu, tidak heran bahwa model ini dapat diterima baik dikawasan keluarga system common law maupun civil law.
Sebagaimana dinyatakan bahwa model penalaran ini pada tahap tertentu khususnya pertimbangan kemanfaatan dimunculkan, polanya sulit dibedakan dengan Sociological Jurisprudence. Pada proposisi norma positif yang disjungtif itu,premis nondoktrinal (keyakinan hakim pada fakta empiris)-nya sangat menentukan putusan akhir sang hakim. Jika premis non-doktrinalnya mendukung atau sejalan dengan kebijakan premis normatif, maka putusan hakim akan membatalkan putusan. Sebaliknya jika ia tidak mendukung premis normatif,hakim dapat membatalkan atau tidak membatalkannya (peluang sama besar).
Karena basis Utilitarinisme ini sama dengan Positivisme Hukum. Maka model penalaran ini dapat dianggap sebagai modifikasi dari Legisme, yaitu Positivisme Hukum yang paling konservatif. Model penalaran ini bahkan bisa dianggap sebagai “penyusup sosiologi” lewat pintu belakang positivisme hukum, oleh karena itu tidakheran bahwa model ini dapat diterima dengan baik dikawasan keluarga sistem common law, maupun civil law,dengan tokoh yang mendukung seperti Bentham (1748-1832), Rudolf van lhering (1818-1892), dan Holmes (1841-1935).
Comments
Post a Comment