MODEL-MODEL PENALARAN HUKUM



            Model penalaran (model of rationality) Dalam bidang hukum dapat diartikan secara sempit Atau luas.  Model penalaran hukum dalam arti sempit adalah  seperti disampaikan R.A.S. Wasserstrom:

            A model of rationality means a class of reasons which may be cited by an official in order to justify a legal decision when more  than one decision can be given wothout infringing legality or constitutionality…. it is not a description of the psychological processes by which officials reach decisions.

            Cara memberi batasan model penalaran hukum seperti Wasserstrom di atas dapat dipahami, mengingat ada sebagian pandangan yang berpendapat bahwa penalaran hukum hanya mungkin Exis sepanjang berlaku prinsip prinsip negara hukum. Padahal, prinsip  negara hukum Sendiri sudah dibatasi demikian terbatas.

            Batasan model penalaran hukum harus lebih fleksibel dengan juga menampung model model lain di luar pola penawaran kaum partisipan (pengembangan hukum  teoris). Model model penawaran hukum para pengembangan hukum praktis harus pula diberi tempat, karena mereka mampu menawarkan komplimen pola pola penawaran yang selama ini dianggap standar oleh Panstudi tradisional. Berikut model yang akan di deskripsikan adalah: (1) aliran hukum kodrat (2) positivisme hukum (3) Utilitarisme (4) Mazhab Sejarah (5) [American] Sociological Jurisprudence dan (6) Realisme Hukum.

1.      Aliran Hukum Kodrat

            Sekalipun ada varian yang cukup beragam tentang pemaknaan hukum menurut aliran hukum kodrat, Satu hal yang jelas bahwa aliran ini menempatkan ontologi hukum pada tataran yang sangat abstrak. hakikat Hukum dalam arti yang sebenarnya di maknai lebih sebagai  asas-asas  daripada norma . Keberadaan hukum positif tetap diakui eksistensinya, namun hukum positif ini dapat Serta merta terancam keberadaannya seandainya tidak memenuhi persyaratan moralitas yang dibebankan oleh hukum kodrat.

            Dalam hierarki hukum yang di introduksi oleh Aquinas, khususnya pada tataran Lex aeterna (aeterna law) dan lex naturalis ( natural law) ,Tampak sarat  sarat dengan saraf dengan muatan hukum alam (law of nature).Keniscayaan hukum alam ini Berangkat dari dalil-dalil  kuasalitas. Dalil ini lalu didirikan di atas bangunan silogisme yang berangkat dari  premis-premis self-evident dan suprapositif.

            “Semua manusia mencintai kebenaran dan keadilan” Adalah salah satu bentuk premis self-evident yang paling relevan dengan konteks uraian ini. kebenaran dan keadilan ini merupakan Kerinduan dan paling dalam manusia yang terus dicari sepanjang zaman. Aliran hukum kodrat tampaknya memang di desain untuk menjawab kebutuhan ini. Ini berarti, Hukum buatan manusia tanpa terkecuali harus dimaknai sebagai pengejawantahan premis self-ev ident itu. demikian  keras tuntutan itu, hingga secara maknawi Hukum buatan manusia ini pun diberi batasan ideal sebagai asas asas kebenaran dan keadilan juga.

            Pemaknaan hukum sebagai asas asas kebenaran dan keadilan dalam aliran hukum kodrat disokong oleh paham idealisme. menurut paham ini gagasan kebenaran dan keadilan itu tidak datang dari pengalaman,  melainkan mendahului pengalaman (apriori  bukan aposteriori). Gagasan Itu adalah suatu yang sangat asasi sekaligus  asal inilah  yang harus dipertahankan eksistensinya pada setiap wujud hukum. 

                Pola penalaran model aliran hukum kodrat sepenuhnya menunjukkan kesamaan dengan penalaran moral. legal roasoning Disini diidentifikasi sebagai moral roasoning.Seperti dikatakan Visser’Hooft, Suatu kerangka referensi yang penting dalam  penalaran hukum memang terletak pada analisis atas moral speech, Yaitu arti pelaksanaan percakapan nasional pada bidang penentuan penentuan titik berdiri moral.

            Pola penalaran aliran hukum kodrat adalah intuitif. Hal ini sejalan dengan karakteristik pemaknaan hukumnya berupa asas asas kebenaran dan keadilan yang universal. Aturan-aturan yang dirumuskan dalam hukum kodrat itu pertama-tama Menuntut pencernaan intuitif bukan ratio.Pilar ontologi dan epistemologis dari aliran hukum kodrat juga harus diperkuat dengan pilar ketiga yaitu aspek aksiologis nya. Terkait dengan dimensi aksiologis, secara kelasikal  ini secara jelas dan Simplitis, Gustav Radbruch Menyebutkan tiga macam tujuan hukum yakni keadilan, kepastian,  dan kemanfaatan. ketiganya dapat diibaratkan seperti tripod Yang menopang dan menuntun perjalanan penawaran hukum .

            Oleh karena spektrum aliran hukum kodrat ini senantiasa membebaskan diri dari kekangan faktor kekinian dan keterdisinian (ruang), Maka jelas keadilan merupakan tujuan hukum yang diidamkannya.  Keadilan adalah cita-cita paling universal dan abadi. sekalipun pada tataran paling konkret nanti akan muncul hukum buatan manusia, tetaplah  tetaplah aspek aksiologis berupa keadilan ini tidak dapat dilepaskan. Keadilan ini demikian Absolute keberadaannya di dalam hukum, Sehingga tidak ada satupun ketentuan normatif yang dapat menghilangkannya. jika ada Ketentuan normatif yang tidak sesuai dengan standar regulatif tersebut, maka norma itu harus disingkirkan, atau setidaknya Diragukan kelayakan dan keabsahannya sebagai hukum.

2.      Positivisme Hukum

            Positivisme hukum, dalam definisinya yang paling tradisional tentang hakikat hukum, memaknainya sebagai norma norma positif dalam sistem perundang undangan. Dari segi ontologi nya, pemaknaan demikian mencerminkan penggabungan antara Idealisme dan Materialisme.

            Hukum adalah ungkapan kehendak penguasa. Kehendak ini jelas bukan sesuatu yang kosong melompong. Perbedaan dengan aliran hukum kodrat yang sibuk dengan permasalahan validasi hukum buatan manusia maka pada positivisme hukum, Aktivitasnya justru diturunkan kepada permasalahan konkrit. Masalah validitas aturan tetap diberi perhatian, tetapi sekedar regulasi yang dijaminkan acuan nya adalah juga norma norma hukum. Logikanya norma hukum hanya mungkin diuji dengan norma hukum pula, bukan pada Non norma hukum.       

            Jika aliran hukum kodrat memiliki kekuatan argumen pada wacana validasi hukum buatan manusia, maka kekuatan argumen positivisme hukum terletak pada aplikasi struktur nama positif itu ke dalam struktur kasus kasus konkrit. Aspek aksiologis yang diperjuangkan positivisme hukum adalah kepastian hukum. Dengan mengambil sumber formal hukum berupa perundang undangan, dia kini bahwa hal ini dapat diwujudkannya. Asas legalitas merupakan roh dari upaya Pengajaran kepastian hukum tersebut. 

3.      Utilitarianisme

            Model penalaran hukum utilitarianisme pada dasarnya berangkat dari titik tolak yang sama dengan Positivisme Hukum. Konsep-konsep berpikir John Austin, misalnya, banyak kesamaan dengan sahabat dekatnya, yakni tokoh Utilitarianisme Jeremy Bentham. Positivism Hukum menjadi menarik dan berbeda dengan Utilitarianisme, sebenarnya justru berkat andil Kelsen dengan gerakan pemurnian hukumnya.

           Aspek ontologis dari model penalaran utilitarianisme tidak berbeda. Yang membedakan Utilitarianisme dengan Positivisme Hukum adalah gerakan top-down yang kemudian diikuti dengan gerakan bottom-up.

            Karena basis dari Utilitarianisme sama dengan positivisme hukum, maka model penalaran ini dapat dianggap sebagai modifikasi dari Legisme, yaitu bentuk positivism hukum yang paling korsevatif. Model penalaran ini bahkan dianggap sebagai “penyusup sosiologi” lewat pintu belakang bangunan positivism hukum. Oleh karena itu, tidak heran bahw model ini dapat diterima baik di kawasan keluarga sistem common law maupun civil law  dengan tokoh pendukung utama seperti Betham (1948-1832), Rudolf van Ihering (1818-1935).

4.      Mazhab Sejarah

            Pola penalaran yang dikembangkan oleh mazhab sejarah pada dasarnya tidak melewati langkah-langkah yang sitematis. Itulah sebabnya, model penalaran sangat alami, bukan sesuatu yang didesain khusus, konsisten dengan jargon aliran berfikir ini bahwa hukum tidak dibuat melainkan tumbuh bersama dengan masyarakat.

            Aspek ontologis dari mazhab sejarah menekankan bahwa hukum adalah pola-pola prilaku sosial yang terlembagakan. Lalu ditinjau dari aspek aksiologis, model penalaran hukum mazhab sejarah menggabungkan sekaligus antara kemanfaatan dan keadilan.

Pola Panalaran Madzhab Sejarah :

a.       A dan B melangsungkan perkawinan dalam masa iddah. Menurut kebiasaan, perkawinan yang tidak dijalankan menurut hukum agama adalah tidak sah (dalam perspektif sosial).
b.      Menurut nilai-nilai terinternalisasi yang diyakini volksgeist, kebiasaan yang tidak sejalan dengan ajaran agama, tidak sah untuk tetap dipertahankan keberadaannya (dalam perspektif sosial).
c.       Perkawinan yang tidak dijalankan menurut kebiasaan dan agama adalah tidak sah(dalam perspektf sosial).
d.      A dan B melangsungkan perkawinan dalam masa iddah yang tidak sesuai dengan kebiasaan dan ajaran agama. Perkawinan A dan B adalah tidak sah (dalam perspektif sosial)

5.      [American] Sociological Jurisprudence

          Sociological Jurisprudence adalah model penalaran yang lahir dalam sistem hukum Anglo-Amerika. Model penalaran ini telah banyak dimodifikasi, khususnya tatkala sistem hukum lain mencoba mengakomodasikannya. Teori hukum pembangunan, sebagaimana dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatdja, termasuk tawaran model penalaran yang diderivasi dari (American) Sociological Jurisprudence tersebut, disesuaikan dengan kebutuhan sistem hukum nasional Indonesia. Kata "American" dalam uraian ini sengaja disisipkan sekadar mempertegas bahwa model yang dibicarakan adalah orientasi berpikir yuridis Sosiological Jurisprudence dalam coraknya yang genuine, mengikuti konsep awal pemikiran Roscoe Pond, yang dikenal sangat bangga dengan sistem hukum versi Amerika Serikat.

          Karakteristik dari sistem Amerika adalah berakar dari sistem common law,  adalah aspek ontologisnya yang mengidentifikasi hukum sebagai putusan hakim in concreto. Hukum adalah judge made law. 

          Pola penalaran yang digunakan hakim dalam menyelesaikan kasus-kasus konkret adalah dengan memadukan dua pendekatan sekaligus secara bersamaan, yakni pola bottom-up yang nondoktrinal-induktif dan pola top-down yang doktrinal-deduktif. Sociological Jurisprudence merupakan sintesis dari dua aliran filsafat hukum, yaitu Positivisme Hukum dan Mazhab Sejarah. Positivisme Hukum merupakan tesis sedangkan Mazhab Sejarah sebagai antitesis.

            Model penalaran ini dapat diperbandingkan dengan Utilitarianisme. perbedaan yang mencolok dari keduanya adalah pada gerakan linear dan simultan pada masing-masing pola penalaran. Utilitariasme mendahulukan pola top-down baru kemudian diikuti oleh gerakan bottom-up, sementara pada Sociological Jurisprudence, kedua pola diasumsikan berlangsung bersamaan.

            Aspek aksiologis dari model penalaran ini menunjukkan adanya tujuan kemanfaatan dan kepastian hukum. Tujuan kemanfaatan dicapai dengan pendekatan nondoktrinal-induktif melalui metode penelaahan fakta-fakta empiris, sedangkan kepastian hukum diperoleh dengan pendekatan doktrinal-deduktif melalui sumber hukum otoritatif.

            Model penalaran Sociological Jurisprudence dapat ditunjukkan dengan contoh kasus sebagai berikut:    
a.       A dan B melangsungkan perkawinan dalam masa iddah
b.      Menurut kebiasaan, perkawinan yang dilangsungkan dalam masa iddah adalah tidak sah
c.       Menurut norma positif, jika terjadi perkawinan dalam masa iddah maka Pengadilan Agama membatalkan perkawinan itu
atau
a.       Menurut norma positif jika terjadi perkawinan dalam masa iddah maka Pengadilan Agama tidak membatalkan perkawinan itu
b.      A dan B melangsungkan perkawinan dalam masa iddah yang tidak sesuai dengan kebiasaan dan norma positif
c.       Pengadilan Agama membatalkan perkawinan A dan B

6.      Realisme Hukum

            Realisme hukum dapat dianggap sebagai model yang mengambil posisi paling bertolak belakang (paradoksal) dengan positivism hukum. Ketidakpercayaan kaum realis terhadap norma positif berpuncak pada ketidakpercayaan mereka pada konsep the rule of law. Dilihat dari aspek ontologisnya, realisme hukum mengartikan hukum sebagai manifestasi makna-makna simbolik para pelaku social. Pemaknaan demikian jelas sangat jauh dri nuansa filsafat tetapi lebih menjuru kepada kombinasi dari berbagai disiplin ilmu seperti sosiologi, psikologi, antropologi, dan ekonomi.

            Realisme hukum dibedakan dalam dua versi, yaitu realisme Amerika dan realisme Skandinavia. Perbedaan ini muncul karena dipengaruhi karakteristik keluarga sistem hukum di antara kedua kawasan tersebut. Realisme hukum versi Amerika dianggap lebih memperhatikan pada perilaku (behavior orientation). Sedangkan realisme Skandinavia lebih mempersoalkan landasan metafisis hukum. Jika rekannya di Amerika bersikap rule-sceptics, maka kaum realis Skandanavia bersikap methaphysic-sceptics dengan titik berat pada keseluruhan sistem hukum, bukan sekedar perilaku pengadilan. Dilihat dari segi-segi ini, realisme hukum versi Amerika lebih tepat mewakili aspek ontologis realisme hukum daripada versi Skandinavia.

            Aspek epistemologis dari realisme hukum adalah fakta konkret secara mutlak. Pola penalaran realisme dapat ditelusuri dari postulatnya bahwa setiap kasus adalah unik, sehingga tidak mungkin ada norma positif apalagi berbentuk undang-undang, yang mampu menjadi premis mayor untuk kemudian didedukasikan kepada struktur kasus tersebut.

      Model penalaran realisme hukum:

a.       Pengadilan Agama 1 membatalkan perkawinan antara  A dan B yang dilangsungkan dalam masa iddah
b.      Pengadilan Agama 2 tidak membatalkan perkawinan antara C dan D yang dilangsungkan dalam masa iddah
c.       Perkawinan antara E dan F dilangsungkan dalam masa iddah
d.      Pengadilan Agama 3 membatalkan perkawinan E dan F
atau
a.       Pengadilan Agama 3 tidak membatalkan perkawinan E dan F
atau
a.       Pengadilan Agama 3 menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili kasus tersebut

          Banyak kalangan menilai , bahwa cara berfikir realisme hukum adalah sangat spekulatif jika ia ingin mengatasi ketidakpercayaan pada The rule of Law melalui pemberian kebebasan demikian pada hakim. Apabila selama ini diyakini bahwa Hakim selalu bertindak berat sebelah karena senantiasa memihak kaum the have, maka tentu tidak ada jaminan bahwa independendensi yang diberikan kepada para hakim itu lalu akan mengubah Hakim benar-benar bertindak imartial. Theodore M. Benditt bahkan menilai gagasan penciptaan hukum oleh Hakim ini bertentangan dengan semangat demokrasi, mengingat tugas ini Seharusnya berada ditangan wakil-wakil rakyat dan para hakim bukan orang-orang yang dipilih langsung oleh rakyat.

            Sekalipun demikian pemikiran untuk memberikan independency yang besar ini sangat mungkin tidak demikian saja rela dibiarkan oleh penguasa politik. Contohnya adalah ajaran hukum bebas yang berasumsi memberikan kebebasan demikian pada para hakim persis seperti Indonesia realisme hukum. Dalam praktik sebagaimana dilakukan oleh kaum Nazi Jerman putusan putusan pengadilan telah diberikan bobot dan pesan-pesan ideologis. Aspek kemanfaatan yang dikejar dalam Freierechtslehre akhirnya menjadi “kemanfaatan” bagi penguasa semata.



Comments

Popular posts from this blog

Realisme Hukum

MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Introduction yang telat