Penelitian Hukum Normatif: Analisis Penelitian Filosofikal dan Dogmatikal


Penelitian hukum normatif adalah jenis penelitian yang biasa dilakukan dalam pelaksanaan Ilmu Hukum atau di Barat dikenal dengan istilah Dogmatika Hukum (Rechtsdogmatiek). Atau disebut juga Ilmu Hukum Positif oleh Mochtar Kusuma Atmaja, Ilmu Hukum Dogmatik oleh Philip Hadjon, atau Ilmu Hukum Praktikal oleh H. Ph. Visser ‘t Hooft.
Ilmu Hukum atau Dogmatika Hukum adalah ilmu yang kegiatan ilmiahnya memuat kegiatan mendata, menjelaskan, membentuk dan juga menilai ilmu hukum secara menyeluruh yang berlaku dalam masyarakat atau negara tertentu yang seluruh kegiatannya ditujukan untuk penyelesaian yuridik atau legal terhadap masalah hukum. Ilmu hukum mengusulkan opsi penyelesaian legal terhadap masalah hukum konkret yang dimuat dalam sebuah putusan hukum yang disebut proposisi hukum.
Ilmu Hukum tergolong dalam jenis Ilmu-ilmu Praktikal Normologikal, Praktikal yaitu ilmu yang secara langsung mempelajari cara menemukan dan mengusulkan opsi penyelesaian terhadap masalah konkret dan Normologikal yaitu ilmu untuk menemukan korelasi antara dua hal atau lebih untuk menentukan apa yang semestinya terjadi atau keharusan subjek hukum dalam situasi tersendiri. Metodenya disebut metode normatif, doktrinal, atau dogmatik karena menurut Soetandyo Wignyosoebroto metode tersebut berdasar pada asas-asas yang mengharuskan kepatuhannya dapat dipaksakan dengan menggunakan alat kekuasaan negara.
Permasalahan pokok dalam Ilmu Hukum adalah memastikan siapa yang berhak maupun berkewajiban, akan apa, kepada siapa, berhubungan dengan apa, dalam keadaan apa dan berdasarkan apa? 
Untuk menyelesaikan masalah itu, maka diperlukan proses penalaran hukum (legal reasoning). Penalaran hukum adalah  pencarian tentang hukum atau pencarian dasar yang didasarkan oleh tatanan hukum yang berlaku yang terdapat didalam peristiwa hukum. Penalaran hukum memiliki 3 acuan dasar yaitu :
1.  Positivitas, adalah proses penalaran hukum harus selalu mengikuti kerangka tata hukum yang berlaku. Jadi, dalam menetapkan putusan hukum harus pula mengikuti  pada apa yang berlaku sebelumnya (proses menyejarah).
2.  Koherensi . Cara yang digunakan agar hukum yang dibuat dapat dipatuhi adalah mewujudkan suatu keutuhan dengan adanya sejumlah asas-asas  hukum yang dapat mencegah ketidaktetapan/ketidakserasian didalam tatanan hukum.
3.   Keadilan. Hukum yang diharapkan adalah sebuah pengaturan yang dapat diterima oleh masyarakat dalam hubungan antar manusia.
Adapun kegiatan ilmiah Hukum mencakup menginventarisasi, menginterpretasi, mensistematisasi, dan juga mengevaluasi hukum tertulis dan tidak tertulis dalam persiapan proses penalaran hukum agar tercapainya putusan hukum yang bertanggungjawab dan rasional.
Seluruh kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat tertata dalam sebuah sistem, yakni sistem hukum, sehingga tidak terjadi perbenturan antar kaidah. Mensistemasi hukum berarti menghidupkan atau melestarikan, serta membangun sebuah sistem hukum berdasarkan apa yg sudah ada. Yang mana hasil dari setiap penafsiran terhadap suatu aturan hukum diintegrasikan kedalam sistem hukum yang sudah ada.
Van Hoecke menyebutkan bahwa ada tiga tataran dalam sistematisasi : 1) Tataran teknikal adalah kegiatan mengumpulkan dan menyusun bahan penelitian dengan memaparkan dan mengelompokkan aturan-aturan hukum berdasarkan  hierarkhi sumber hukum untuk membangun landasan legitimasi dalam menafsirkan aturan hukum. 2) Tataran teleologikal adalah mensistemasi berdasarkan substansi hukum. Dengan menata ulang materi hukum dalam perspektif teleologikal, pengertian dan aturan-aturan. 3) Sistematisasi eksternal adalah mensistematisasi hukum untuk mengintegrasikan sistem hukum kedalam masyarakat yang dinamis, termasuk kedalam pandangan hidup masyarakat.
Dalam hal ini Van Hocke membagi ke dalam empat metode tentang cara melakukan sistematisasi. Pertama, metode Logika, jadi dalam hal ini asas asas dan hukum hukum logika ini sangat diperlukan untuk membangun struktur logikal di dalam kondisi hukum yang sedang tidak tertata, sehingga kondisi keseluruhan aturan hukum itu tetap tertata.  Asas-asas logika yang biasa digunakan : induksi, deduksi, analogi, a kontrario, dsb. Kedua, metode Tipologi, yakni menetapkan pembagian pembagian yang mendasar yang akan dijadikan sebagai pedoman terhadap penataan sejumlah kejadian. Ketiga, metode teleological, yaitu mensistematisasi berdasarkan isi hukum. Keempat, metode Interdisipliner, yakni, memanfaatkan banyak produk ilmu yang dimiliki manusia guna melakukan sistematisasi eksternal.
Menurut J.W. Harris di dalam hal penggunaan Logika dalam mensistematisasi material hukum harus berlandaskan empat asas. Pertama, asas eksklusi, dalam hal ini yang dimaksudkan yaitu sistem hukum diidentifikasikan melalui sejumlah legislasi atau peraturan perundang-undangan. Kedua, asas subsumsi, yaitu adanya hubungan hirarki di antara dua aturan yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah. Ketiga, asas derogasi, yakni asas ini digunakan untuk menolak peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan yang lebih tinggi atau peraturan yang ada di atasnya. Keempat, asas non-kontradiksi, yakni menolak pernyataan tentang ada tidaknya kewajiban yang dikaitkan dengan situasi yang sama, di mana orang dapat menetapkan sebuah kewajiban, dan pada saat yang sama non-eksistensi sebuah kewajiban yang mencakupi situasi yang sama pada kejadian yang sama (sebuah kewajiban berdasarkan sebuah aturan hukum, justeru dilarang oleh aturan hukum lainnya dalam waktu yang bersamaan).
Dalam proses sistematisasi dan penstrukturan diatas, terbentuk sejumlah aturan umum (general rule) dan konsep yuridik (legal concept). Pembentukan dan adanya perangkat aturan umum dan konsep-konsep yuridik tersebut diperlukan untuk memudahkan pengelolahan massa material dalam memproses sistematisasi dan penstrukturan. Radbruch merumuskan konsep yuridik dalam dua jenis, yakni: pertama, “Konsep yang yuridik relevan” (legal relevant concepts) merupakan komponen aturan hukum, konsep ini khususnya digunakan untuk memaparkan situasi fakta yang berkaitan dengan ketentuan undang-undang yang dijelaskan. Misalnya konsep fakta seperti benda, membawa pergi atau mengambil. Kedua, “Konsep yuridik” merupakan konsep untuk memahami sebuah aturan hukum atau sistem hukum. Misalnya konsep hak, kewajiban, perbuatan hukum, vonis, penganiayaan, kejahatan pencurian, dll.
Dalam upaya memberikan penyelesain yuridik terhadap suatu masalah yang konkret, penalaran hukum sebagai proses menalar untuk mengidentifikasi hak-hak dan kewajiban-kewajiban yuridik yang dipaparkan diatas, secara teknikal dapat dipaparkan ke dalam enam langkah, yakni:
1.    Membuat peta kasus posisi atau peta konsep dengan memaparkan selengkap mungkin fakta-fakta yang ada dari peristiwa yang menimbulkan masalah;
2.    Mengenali sumber hukum yang mudah diterapkan;
3. Menganalisis sumber-sumber hukum untuk menetapkan aturan-aturan hukum yang mudah diterapkan, yang melandasi aturan hukum tersebut;
4. Menggabungkan aturan-aturan hukum dengan cara mengaturnya dari yang lebih spesifik dikelompokkan ke bawah aturan hukum yang lebih umum;
5.  Menelusuri fakta-fakta yang didapatkan untuk memilah dan menstrukturkan fakta-fakta yang relevan sehingga terlihat peristiwa hukumnya.
6.   Menerapkan struktur aturan-aturan tersebut tadi pada fakta-fakta relevan untuk menetapkan hak dan kewajiban dengan megacu pada aturan-aturan yang ada.

Comments

Popular posts from this blog

Realisme Hukum

MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Introduction yang telat